Skip to main content

Miss Potter


Miss Potter, gue menonton film itu semalam. Hampir sebulan belakangan gue memang sering terkena insomnia. Biasanya gue mengerjakan beberapa hal supaya insomnia gue menjadi produktif. Ngetik list undangan kawinan, bikin tulisan-tulisan kecil, menuangkan rasa penat di dada, atau kadang ngerjain thesis. Semalam gue memtuskan menonton DVD yang baru gue beli di Ambas. Dari beberapa yang gue beli, entah kenapa gue tertarik untuk menonton Miss Potter.

Tampaknya gue tidak salah, gue suka sekali dengan film itu. Banyak kesamaan antara tokoh Miss Potter yang diperankan dengan Rene Zwal.. (gue gak tau spellingnya) ini. Kesamaan pertama, soal usia, 32 tahun. Yaaa engga sama-sama amat sih, gue dah 34 tahun gitu looh. Tapi setidaknya kita sama-sama thirty something. Kesamaan kedua, kami suka menuangkan cerita, kalo dia menungkan dalam bentuk gambar, maka gue lebih senang dalam bentuk tulisan. Kesamaan ketiga, gue punya cita-cita yang nyaris sama dengan apa yang dilakukan Miss Potter, mengembangkan perekonomian masyarakat kecil. Makanya gue cukup exciting untuk tinggald i Sumbawa atau Lombok dan punya kebun kopi dan peternakan. Kesamaan kelima, gue dan dia sama-sama keras kepala. Bangetttt!!!

Gue mendapatkan energi lagi setelah menonton film itu. Gue kemudian mengerjakan thesis gue setelahnya. Sampai Bab III selesai. Ada bayangang yang bisa gue imaginasikan untuk masa depan gue nanti. Gue sungguh terinspirasi dan ingin seperti Miss Potter.

Comments

Popular posts from this blog

Et cetera

Banyak hal yang harusnya bisa saya tulis dalam beberapa minggu terakhir ini. Saya berpindah ke lebih dari empat kota dalam sebulan ini, dari Lombok saya ke Bau-bau, lalu berdiam sejenal di Makasar, Jakarta, Bali lalu ke Jakarta kembali. Lelah sudah pasti, kangen suami, apalagi. Dari perjalanan ke berbagai kota itu saya bertemu banyak orang (sebagian besar adalah mereka yang tergabung dalam sebuah organisasi masyarakat sipil) dan mendaapatkan banyak sekali pengetahuan baru tentang dunia OMS ini. Bukan barang baru memang karena saya sudah terlibat di dalamnya selama kurang lebih sepuluh tahun, namun posisi saya di dalam kegiatan itu yang membuatnya berbeda. Saya harus melakukan pemeriksaan terhadap empat organisasi di sultra terkait beberapa aspek, visi dan kepemimpinan, kesolid an tim, budaya organisasi dan knowledge management. Secara umum organisasi ini punya dua problem utama yaitu soal visi dan kepemimpinan yang lemah dan kedua soal knowledge management yang kacau. Lemahnya lea

22 Februari 2013

Saya bahkan tak sempat berpikir atau berefleksi tentang ulang tahun saya. Minggu ini pekerjaan terasa begitu menggila. Pikiran saya tersita antara word, excel, keynote, email, proposal, laporan penelitian,   TOR, undangan, hotel kaos peserta, tas peserta, modul, dan tentu saja account bank kantor. Semua menarik-narik saya minta dijadikan prioritas. Saya tenggelam. Tapi saya percaya hidup tak akan membiarkan saya terus tenggelam. Saya jalani saja sambil terus berupaya menghidupkan binar mata, menegakan tubuh yang sudah lunglai dan mengembangkan sisa senyum. Pasti akan berakhir juga. Seorang teman terbaik memberikan sepanjang malam nya menemani saya melewati detik-detik ulang tahun saya. Sekumpulan batu yang lama telah ia kumpulkan   dari berbagai pantai di Indonesia ia berikan sebagai kado. Obrolan panjang kami malam itu, membuat saya lompat dari kubangan yang menenggelamkan. Ia memang selalu hadir, di saat seperti ini. Tanpa saya minta. Pagi hari, teman t

Paris I Love u

Saya penikmat film-film drama romantis, walaupun kata orang film-film macam itu “kacangan”. Ah, tapi saya tidak terlalu peduli dengan kata orang. Saya menonton dan membaca yang saya suka.   Ada satu hal yang saya nikmati dengan film-film drama romantis, mereka menampilkan tempat-tempat yang memang ingin saya datangi. Danau yang indah, city light, jalan-jalan romantis, café yang nyaman, kopi yang enak. Minggu ini saya menonton lebih dari lima film dengan setting kota Paris. Ya, saya memang selalu terobsesi dengan Paris, kota yang harus saya datangi sebelum saya mati.   Para pembuat film ini sungguh membuat saya menjadi terengah-engah untuk segera mewujudkan mimpi saya. Saya seperti ingin segera berada di sana. Mungkin sekali sebagian besar yang ditampilkan di film-film itu adalah fantasi, tapi saya tetap ingin ke sana. Saya benci dengan kenyataan bahwa film-film Indonesia tidak bisa membuat saya melihat kota-kota di Indonesia dengan cara yang sama.   Jakarta misalnya