Skip to main content

Akhirnya Datang Juga..

" Apa yang datang"?
" hari pernikahan gue"
"Trus, gimana perasaan lu?"
"...ehm...gimana ya..e..gak sabar, campur agak stress, campur..deg-degan"

Yup, akhirnya gue menikah juga. Setelah usia gue yang ke 34 ini, rasanya pernikahan seperti sudah menjadi suatu keharusan. Paling tidak buat sebagian orang di Indonesia ini. Perasaan gue sekarang bisa dikatakan tidak menentu. Gue memang tidak sabar menunggu moment ini datang, karena buat gue memulai sesuatu yang baru akan selalu menyenangkan. Agak stress juga karena harus mempersiapkan segala sesuatunya seorang diri. Tentu saja termasuk biaya pernikahan gue. Well tapi gak apa-apa lah... Gue mengerti betul kondisi kedua orang tua gue.

Sebenernya yang membuat gue tidak sabar bukan karena pernikahan itu sendiri, tapi gue gak sabar untuk mewujudkan mimpi gue bersama Ar. Walaupun harus dimulai dari nol, tapi kami berdua punya keyakinan yang sama tentang masa depan. Yang lebih menyenangkan buat gue, Ar membebaskan gue untuk membuat pilihan apa yang gue ingin kerjakan. Gue boleh menjadi full time mother, ngembangin bisnis media dia ataupun menjadi konsultan atau dosen. Semua terserah kepada gue.

Ar, sudah mulai tinggal di Lombok sekarang, kita baru ngontrak satu rumah yang tidak terlalu besar, sambil membangun rumah idaman kami berdua. Pilihan membangun rumah, karena gue pengen yang halamannya besar jadi bisa buat anak-anak gue main nantinya. Disamping itu, gue pengen rumah gue agak-agak berasitektur jawa. Biar lebih hommy.

Walapun dibilang sudah terlalu telat, tapi gue bersyukur gue menunda pernikahan gue sekarang. Karena sudah begitu banyak hal yang telah gue eksplore dalam hidup ini sebelum gue menikah. Sekarang gue benar-benar siap untuk akhirnya berbagi tempat tidur gue dengan orang lain.

Comments

Popular posts from this blog

Et cetera

Banyak hal yang harusnya bisa saya tulis dalam beberapa minggu terakhir ini. Saya berpindah ke lebih dari empat kota dalam sebulan ini, dari Lombok saya ke Bau-bau, lalu berdiam sejenal di Makasar, Jakarta, Bali lalu ke Jakarta kembali. Lelah sudah pasti, kangen suami, apalagi. Dari perjalanan ke berbagai kota itu saya bertemu banyak orang (sebagian besar adalah mereka yang tergabung dalam sebuah organisasi masyarakat sipil) dan mendaapatkan banyak sekali pengetahuan baru tentang dunia OMS ini. Bukan barang baru memang karena saya sudah terlibat di dalamnya selama kurang lebih sepuluh tahun, namun posisi saya di dalam kegiatan itu yang membuatnya berbeda. Saya harus melakukan pemeriksaan terhadap empat organisasi di sultra terkait beberapa aspek, visi dan kepemimpinan, kesolid an tim, budaya organisasi dan knowledge management. Secara umum organisasi ini punya dua problem utama yaitu soal visi dan kepemimpinan yang lemah dan kedua soal knowledge management yang kacau. Lemahnya lea...

22 Februari 2013

Saya bahkan tak sempat berpikir atau berefleksi tentang ulang tahun saya. Minggu ini pekerjaan terasa begitu menggila. Pikiran saya tersita antara word, excel, keynote, email, proposal, laporan penelitian,   TOR, undangan, hotel kaos peserta, tas peserta, modul, dan tentu saja account bank kantor. Semua menarik-narik saya minta dijadikan prioritas. Saya tenggelam. Tapi saya percaya hidup tak akan membiarkan saya terus tenggelam. Saya jalani saja sambil terus berupaya menghidupkan binar mata, menegakan tubuh yang sudah lunglai dan mengembangkan sisa senyum. Pasti akan berakhir juga. Seorang teman terbaik memberikan sepanjang malam nya menemani saya melewati detik-detik ulang tahun saya. Sekumpulan batu yang lama telah ia kumpulkan   dari berbagai pantai di Indonesia ia berikan sebagai kado. Obrolan panjang kami malam itu, membuat saya lompat dari kubangan yang menenggelamkan. Ia memang selalu hadir, di saat seperti ini. Tanpa saya minta. Pagi hari...

Lalu Harus Menyerah Karena Apa?

Pantaskah saya menyerah? Menyerah karena apa? Pagi ini saya masih bisa minum kopi. Membaca beberapa cerita pendek dari pengarang-pengarang yang luar biasa. Lalu saya juga masih bisa berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Ya, memang kadang saya harus memakan waktu lebih lama. Tapi, tidak pernah lebih dari 2 atau 3 jam saja. Tidak seperti ibu di Kulisusu sana yang butuh 12 jam berjalan kaki untuk keluar dari desanya. Tidak sama sekali. Siang ini sayapun masih bisa makan siang dan berbincang seru dengan teman-teman saya. Bukan perbincangan gosip kacangan, tapi perbincangan seru tentang kebodohan masing-masing. Sambil tertawa-tawa menertawakan diri sendiri. Lalu, mau menyerah karena apa? Ya tiap hari saya memang berhadapan dengan orang-orang yang sulit, tak kompeten, manja, sok tau atau keras kepala. Ya, lalu kenapa? Mama-mama di desa sana, berhadapan dengan sistem yang melarang perempuan berbicara, dan mereka bisa. Lalu, saya harus menyerah karena apa...