Skip to main content

Posts

Showing posts from 2014

Dua Orang Gila

Kewarasan sudah terlalu merajalela Kamu dan aku makin lama makin tak tahan dengan dunia Hidup macam apa jika untuk senang kau perlu uang Untuk maju kau perlu meninju Untuk tertawa kau perlu banyak harta Kamu dan aku merasa tak perlu apa-apa Kita mencukupkan diri untuk kegilaan kita Aku minum dari sumur gilamu, tanpa berharap warasku Kaupu begitu Dua orang gila memang harus bertemu Dua orang gila setuju

Dewa Kata

Kejutan hidup lagi-lagi membuat saya terganga. Kali ini dalam wujud kata-kata. Kata-kata yang banyak yang mengaliri sungai kering saya.  Perahu saya jadi bisa melaju kencang, diantara denyut tanda baca dan ribuan mantra. Terimakasih dewa kata. Saya terpuja.

Pada Jeda

Pada jeda ada rasa membara tak terkira, tak terduga, tak terkata Pada jeda waktu terbungkam, ruang tertahan, hanya gerak syahdu perlahan Bisikmu di getarku, belaiku di desahmu Degup membilang, denyut menyebut, dua gelora baku menghasut. *ini puisi seseorang yg dikirimkan ke saya*

Obral Rindu

Rindu sudah kau potong menjadi tiga. Senyum senyum kau bagikan kepada tiga yg dipuja. Satu menerima sambil senyum dikulum. Satu bersorak dan menggelak. Satu lagi membantingnya seraya berkata, "ah rindumu seribu tiga".

Penghayal dan Pengamat

Saya memang tukang berkhayal total. Hampir semua tulisan di blog ini adalah khayalan saya, atau hal-hal yang saya lihat sehari-hari dalam kehidupan. Kelebihan saya yang lain, saya pandai memperhatikan orang dan mengingat banyak detail tentang orang. Dari potongan-potongan informasi itu lalu saya menghayal menjadi mereka, dan menuliskan perasaan mereka di sini. Saya tidak perduli apakah tafsir saya atas data itu betul atau salah, namanya juga fiksi:) Banyak diantara orang-orang di sekitar saya yang mengilhami saya menulis puisi, atau potongan isi hati. Saya jadi berusaha memahami orang dari banyak sini. Menajamkan mata hati.

Kita

    6    purnama 180    puisi 180    kuntum bunga 1800  kali kata cinta 100    malam bertukar kata 100    pagi bertukar makna "Kita" hadir di sana  Selamat hadir kita *terimakasih untuk memperjuangkan kita seserius saya*

Tarian Pengusir Duka

Malam ini seperti banyak malam lain, aku datang dengan mata penuh air. Memuntahkan semua sampah yang entah mau dibuang ke mana. Semakin dewasa, semakin sedikit orang yang bisa aku percaya. Dia, adalah sedikit dari yang sudah sedikit. Bukan hanya karena aku memuja idealismenya, tapi juga usahanya untuk terus menjadi manusia yang baik. Demi konsep menjadi manusia baik yang kupercayai , aku terus menerus babak belur di hajar kenyataaan. Skeptis sudah tinggal segaris lagi kucapai.   Sebentar lagi aku wisuda paripurna. Dia memeluk aku.   Memunguti semua dukaku, menghapus setiap tetes air mata yang aku keluarkan. Sampai semua habis, dan tak ada kata lagi yang bisa kukeluarkan. “Mari kita usir dukamu” “Bagaimana caranya?” “Ikut aku” Ia gandeng tanganku, menyusuri jalan yang mulai sepi. Kami berhenti di sebuah rerumputan kosong yang terpapar sempurna oleh purnama. “Menarilah” “Untuk apa” “Karena kau terlihat sangat bahagia saat menari” Ia mula

Jiwa Merdeka

Adakah usia membawa kita pada hampa? Dengan apa bisa kuhentikan masa? Mengembalikan muda yang bergelimang kriya Niscaya katamu? Tak ada yang niscaya pada jiwa yang merdeka

Bertiga

Aku akan menunggumu di sini Aku dan satu orang lagi Lalu kita akan tertawa tanpa apa yang lucu Lalu kita menangis karena begitu tak mutu Kita disatukan oleh kepedihan dan kegetiran Kita menguat dalam kasing sayang dan persahabatan Kita ber tiga

Tak Mutu

Maap aku tak lagi tertarik padamu Omonganmu sering tak mutu Kata kata kosong yang selekas hilang tanpa pesan Kembalikan dirimu yang dulu Atau kau akan selamanya kehilangan aku

Sedikit Kamu

Aku punya siang yang kesepian Dan kau punya malam yang keriuhan Hey, bukankah menyenangkan jika kita satukan Ini akan menjadi hari yang menggairahkan Tapi tunggu dulu Aku cuma mau sedikit siangmu dan sedikit malammu Seharian akan sangat terasa jemu Meski itu denganmu

Pelan Pelan

Pelan pelan aku akan menghapus kamu Pelan pelan dan tak kelihatan Aku akan berjingkat pelan saat kau lelap dalam tidurmu Lalu berlari kencang, menghilang dalam bayang Pelan pelan Karena pada kita, tak ada lagi yang bisa dipersatukan

Lalu Harus Menyerah Karena Apa?

Pantaskah saya menyerah? Menyerah karena apa? Pagi ini saya masih bisa minum kopi. Membaca beberapa cerita pendek dari pengarang-pengarang yang luar biasa. Lalu saya juga masih bisa berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Ya, memang kadang saya harus memakan waktu lebih lama. Tapi, tidak pernah lebih dari 2 atau 3 jam saja. Tidak seperti ibu di Kulisusu sana yang butuh 12 jam berjalan kaki untuk keluar dari desanya. Tidak sama sekali. Siang ini sayapun masih bisa makan siang dan berbincang seru dengan teman-teman saya. Bukan perbincangan gosip kacangan, tapi perbincangan seru tentang kebodohan masing-masing. Sambil tertawa-tawa menertawakan diri sendiri. Lalu, mau menyerah karena apa? Ya tiap hari saya memang berhadapan dengan orang-orang yang sulit, tak kompeten, manja, sok tau atau keras kepala. Ya, lalu kenapa? Mama-mama di desa sana, berhadapan dengan sistem yang melarang perempuan berbicara, dan mereka bisa. Lalu, saya harus menyerah karena apa

Kopi Pahit untuk 2013

2013 masih duduk di depanku. Bolak balik ia menatapku yang tercenung sambil mengaduk aduk kopiku yang hampir dingin. “Masa sedikit saja kau tak punya kenangan tentang aku. Kau menulis begitu banyak kesan pada 2012”, protesnya. Aku mulai kesal pada 2013. Sejak lengkingan terompet 1 Januari 2014 pukul 00.00 WIB, ia terus menerus menanyaiku. Sudah 15 hari dan aku masih bungkam setiap kali ia bertanya. Biar saja, aku memang berencana membuatnya bosan dan kemudian meninggalkan aku tanpa bilang-bilang. Tapi tampaknya rencanaku tak terlalu berhasil. “Baiklah”, ucapku. Kau pasti tahu, dulu aku begitu menyukai kopi. Kopi panas dan sedikit manis bersama dengan obrolan panjang yang romantis. Sekarang, aku suka kopi arabika pahit   di teguk bersama beberapa.   Satu cangkir kami bagi bagi, sebagaimana kami membagi ironi dan kegetiran lalu terbahak-bahak setelahnya. “Seperti itulah kau mengubahku, 2013. Sudah cukup penjelasanku?” 2013 kemudian memelukku. “Boleh