Skip to main content

Tarian Pengusir Duka


Malam ini seperti banyak malam lain, aku datang dengan mata penuh air. Memuntahkan semua sampah yang entah mau dibuang ke mana. Semakin dewasa, semakin sedikit orang yang bisa aku percaya. Dia, adalah sedikit dari yang sudah sedikit. Bukan hanya karena aku memuja idealismenya, tapi juga usahanya untuk terus menjadi manusia yang baik.

Demi konsep menjadi manusia baik yang kupercayai , aku terus menerus babak belur di hajar kenyataaan. Skeptis sudah tinggal segaris lagi kucapai.  Sebentar lagi aku wisuda paripurna.

Dia memeluk aku.  Memunguti semua dukaku, menghapus setiap tetes air mata yang aku keluarkan. Sampai semua habis, dan tak ada kata lagi yang bisa kukeluarkan.

“Mari kita usir dukamu”
“Bagaimana caranya?”
“Ikut aku”

Ia gandeng tanganku, menyusuri jalan yang mulai sepi. Kami berhenti di sebuah rerumputan kosong yang terpapar sempurna oleh purnama.

“Menarilah”
“Untuk apa”
“Karena kau terlihat sangat bahagia saat menari”

Ia mulai menembang sebuah tembang macopat yang samar-samar aku mengerti artinya.

Aku memejamkan mataku dan mulai menari. Tubuh bergerak magis mengikuti irama yang keluar dari bibirnya. Aku terus menari dan menari, merasakan cahaya dan udara bergerak bersamaku. Dalam setiap hentakan kakiku, aku merasakan dukaku rontok satu persatu. Dan dalam tiap putaran, energi kebahagiaan merasuk di tubuhku. Tanpa sadar, bibirku tersenyum sepanjang tarian itu.

“Manis, bawalah energi tarian itu dalam kehidupanmu. Aku akan terus menyanyikan tembang pengiringnya untukmu”

Aku menghambur padanya. Aku batal wisuda.






Comments

Amalia Puri said…
favorit: "Demi konsep menjadi manusia baik yang kupercayai , aku terus menerus babak belur di hajar kenyataaan. Skeptis sudah tinggal segaris lagi kucapai." *mungutin sampah
aku masih punya banyak sampah, mau nampung?

Popular posts from this blog

Jiwa Merdeka

Adakah usia membawa kita pada hampa? Dengan apa bisa kuhentikan masa? Mengembalikan muda yang bergelimang kriya Niscaya katamu? Tak ada yang niscaya pada jiwa yang merdeka

Malam Di Empang Tiga

Jam 18.30 malam saat irma telp gue dari ponselnya. Gue masih asik bergoogling di ruang meeting kecil, udah sepi tinggal gue dan si gundul pacul. Tenyata band cowoknya irma yang namanya mirip-mirip fenomena alam itu malam ini maen di w.al.h.i, di empang tiga. Kok di empang tiga yaa?? Perasaan gue di daerah mampang lokasi organisasi itu. Tapi mungkin aja gue salah, secara dah lama gak gaul ama orang-orang dunia per NGO an ini. Si irma mengajak gue melihat cowoknya maen, yang sebenernya temen kantor gue juga. Gue waktu itu semangat-semangat aja, ya apa salahnya siapa tau ada yang menarik. Gue janjian ama irma ketemuan deket republika, sebagai titik temu paling strategis. Gue meluncur naek busway dari halimun, masih penuh banget. Sampe sana ternyata dah mulai, acaranya digelar di halaman organisasi itu. Gue coba mengamati orang-orang yang ada, kok gak ada yang gue kenal. Yaaa at least gue khan kenal ama ED nya yang baru kepilih itu, yang dulu pernah gue temui waktu dia masih di Banjarmasin

Sahabat

Kamu adalah keranjang sampah saat aku susah Tapi seringkali kulupakan saat wajahku sumringah Terimakasih untuk selalu menerimaku kembali, Yang sudah tercobak cabik dalam roda mimpi Hanya pada pelukmu aku menemukan diri