Malam ini seperti banyak malam lain, aku datang dengan mata
penuh air. Memuntahkan semua sampah yang entah mau dibuang ke mana. Semakin
dewasa, semakin sedikit orang yang bisa aku percaya. Dia, adalah sedikit dari
yang sudah sedikit. Bukan hanya karena aku memuja idealismenya, tapi juga
usahanya untuk terus menjadi manusia yang baik.
Demi konsep menjadi manusia baik yang kupercayai , aku terus
menerus babak belur di hajar kenyataaan. Skeptis sudah tinggal segaris lagi
kucapai. Sebentar lagi aku wisuda paripurna.
Dia memeluk aku. Memunguti
semua dukaku, menghapus setiap tetes air mata yang aku keluarkan. Sampai semua
habis, dan tak ada kata lagi yang bisa kukeluarkan.
“Mari kita usir dukamu”
“Bagaimana caranya?”
“Ikut aku”
Ia gandeng tanganku, menyusuri jalan yang mulai sepi. Kami berhenti
di sebuah rerumputan kosong yang terpapar sempurna oleh purnama.
“Menarilah”
“Untuk apa”
“Karena kau terlihat sangat bahagia saat menari”
Ia mulai menembang sebuah tembang macopat yang samar-samar
aku mengerti artinya.
Aku memejamkan mataku dan mulai menari. Tubuh bergerak magis
mengikuti irama yang keluar dari bibirnya. Aku terus menari dan menari,
merasakan cahaya dan udara bergerak bersamaku. Dalam setiap hentakan kakiku,
aku merasakan dukaku rontok satu persatu. Dan dalam tiap putaran, energi
kebahagiaan merasuk di tubuhku. Tanpa sadar, bibirku tersenyum sepanjang tarian
itu.
“Manis, bawalah energi tarian itu dalam kehidupanmu. Aku
akan terus menyanyikan tembang pengiringnya untukmu”
Aku menghambur padanya. Aku batal wisuda.
Comments