Skip to main content

Posts

Showing posts from 2015

Di Ujung Pelangi

Air berbisik lirih pagi tadi saat ku mandi “Hey, alam akan membahagiakanmu hari ini" Kukecup buliran air seraya mengucapkan terima kasih Alam tak pernah mengecewakanku serumit apapun situasinya Ia selalu menyisakan ruang bahagia untukku Skenario alam bekerja keras membahagianku hari ini Mengalir, mendesir, mengayuh bahagia hampir ke puncak Aku telah mencukupkan bahagiaku sampai di situ, tak ingin loba meminta dari yang seharusnya Tanpa aku tahu, alam telah bersiasat denganmu seharian ini Melimpahkan deburan, denting, nyayian dan gelak Menuangkan kasih yang serupa cahaya senja Merah, jingga keemasan Aku tak berani meminta apapun lagi Ini sudah seperti mandi di ujung pelangi Terima kasih untuk membuat mungkin semua ini Kasih.

Melintas

Aku dan kamu mungkin sama-sama tak menduga Tapi yang pasti sama-sama bergembira Kita akhirnya berani melintas Tak lagi saling berpandangan, menunggu siapa yang berani maju Sekat dan batas sudah kita hancurkan Dan kita sudah tiba di sini Berdua Bersuka cita Tak perlu lagi ada tanda tanya

Usaha Menulis Puisi Denganmu

Aku sudah menuliskan bait pertama, saat kau masih kebingungan mencari kata-kata Hey, ini sudah bait ke dua ku Kulihat kau masih berjibaku  dengan benturan-demi benturan dan tak berhasil jua menuliskan kata-katamu Baiklah, mungkin kau segera menemukan kata-kata setelah kutuliskan bait terakhirku Tapi, aku keliru Kau terlalu takut untuk menuliskan kata-katamu, takut akan apa yang kau sendiri tak tahu Akhirnya, jadilah puisi ini hanya menjadi puisiku Biarlah, setidaknya tlah kuselesaikan bagianku)

Selamat Terbang Lagi, Sayang

Aku terlonjak gembira saat kau tolak ajakanku bertemu hari itu. Kau akan pergi menyelam bersama kawan-kawanmu di kepulauan seribu, katamu. Kau bergembira lagi setelah bertahun memojok di sudut biru. Tak ada yang lebih bahagia selain mendengar kabar itu darimu. Pada malam-malam yang tak tertahan, kau sering datang padaku untuk melebur kesedihan. Bersabar kutemani kau dengan racauan dan kegilaan. Tak kumiliki penawar apapun selain memeluk dan mendengarkan. Berharap duka itu mereda dan kau siap mengejar lagi kupu-kupu mu. Selamat terbang lagi, sayang. Aku yang berbahagia dengan sembuhmu.

Aku, Kau, dan Senja Yang Menanti Kita

Tidak, aku tak sedang ingin menaklukanmu Menjeratmu dalam sangkarku sehingga kau tak bisa memikirkan hal lain selain aku Begini saja Tenang-tenanglah kau di situ Nikmati saja detak kebersamaan kita Kadang begitu membabi buta Kadang, yaa biasa-biasa saja Tak perlu pula kau berupaya membuatku cemburu Itu tak ada dalam kamusku Santai saja, lambat saja Kau dan aku akan sampai jua di situ Di sebuah senja yang telah lama merindukan percakapan kita Begitu serunya Sampai kita lupa Bahwa senja telah menunggu begitu lama

Perasaan Yang Menunggu Abadi

Perempuan itu mengenali perasaan-perasaan itu. Perasaan yang sudah ia timbun dengan gumpalan kasih sayang. Kenapa tiba-tiba mereka mencuat merobek otot segar kenangan manisnya. Dia mengenali rasa terhina itu, saat laki-laki itu menggagalkan janjinya untuk satu acara yang bahkan tak pernah ada. Atau rasa miris saat laki-laki itu lebih memilih pergi dengan perempuan lain, meninggalkannya di kamar hotel sendirian.  Begitu juga rasa nelangsa, saat laki-laki itu membelikannya sebuah buku yang tak pernah ingin dibacanya. Perempuan itu tahu buku itu adalah buku favorit dari kekasih laki-laki itu. Perasaan-perasaan itu bersamanya lagi kini. Menunggu abadi.

Obsesi Mimpi

Saya mudah jatuh cinta pada penulis fiksi dan puisi, semudah saya jatuh cinta pada karya-karya mereka. Daya imaginasi mereka sepertinya adalah pemikat nomor satu, melebihi daya pikat apapun yang ada di dunia ini.   Menerka-nerka bagaimana proses kreatif dan siapa orang dibalik tokoh-tokoh rekaan mereka adalah misteri paling ingin saya pecahkan di dunia. Oleh karenanya saya menjadi begitu terobsesi untuk berkenalan dengan mereka.   Bertemu mereka di sebuah ruang bisa bikin saya deg-deg an tidak jelas seperti orang yang ketemu gebetan. Salah tingkah dan berusaha mencari cara untuk berkenalan tapi cukup malu untuk melakukan.   Mungkin sebetulnya saya sedang terobsesi dan jatuh cinta dengan mimpi saya sendiri. Mimpi yang belum berani saya jalani. 

Lika Liku Laki-Laki

Seumuran gini, saya sudah mengenal banyak tipe laki-laki.   Tipe setenang awan atau semeledak gunung   pasti pernah berpapasan sekali dua di persimpangan jalan kehidupan.   Ini beberapa yang saya identifikasi 1.   Pemberontak Berotak Ini tipe yang sebetulnya menjadi idola saya sepanjang masa. Dandanan berantakan, cuek,   irit ngomong namun hangat. Tipe ini gak terlalu suka   diatur dan ngatur. Ia hanya memastikan perempuan yang ia sayangi terlindungi tanpa berlebihan memproteksi.   Ia bukan tipe yang menanyakan “udah makan belum” tapi langsung membelikan makanan. Ia juga gak sudak ditanya-tanya pergi ke mana, tapi selalu ada kalau kita lagi butuh dia. Tipe ini biasanya juga pintar dan idealis.  2. To Sweet to Forget Ah dia mungkin menjadi idola banyak perempuan, selalu manis dan berusaha membuat kita nyaman.   Dalam level yang cukup, tipe ini buat saya masih baik-baik saja. Namun, saat sudah kelewatan manis kayak pengawet, rasanya kayak minum teh botol sa

Setan Keadilan

Sebongkah kecil percaya yang saya genggam mendadak berubah menjadi pasir Saya merasakan jari-jari saya makin melemah bersama dengan amarah yang tak lagi tertampung Apakah masih ada yang bisa saya upayakan Ini lebih sulit ketimbang berhadapan dengan setan-setan Ya setidaknya kita tau mereka setan Ketimbang setan yang menyelinap di baju keadilan Setan!

Pemberontakan

Setiap aku pergi, kepala rumah mengumpulkan anak buahnya Mereka berdemonstrasi, menuntut aku lebih sering di rumah Cat tembok mulai merontokan dirinya, serupa retak-retak yang tak sedap di pandang Keran air membuat dirinya mampet Lampu-lampu tidak mau lagi hidup Bahkan bunga-bunga di depan rumah melakukan percobaan bunuh diri Aku sudah menyampaikan niatku untuk bernegosiasi dengan sang ketua Tapi mereka menyembunyikan identitasnya Sampai suatu malam ia menampakan dirinya di depanku ternyata sang ketua rumah adalah aku

Matinya Sebuah Cinta

Segala hal memang harus dipelihara agar tidak mati. Tanaman rambat di halaman rumah saya mati waktu saya tinggal ke luar kota selama satu minggu. Dari semua tanaman yg saya miliki, saya pikir tanaman rambat itu yang paling kuat. Sambil menangis menyesali kebodohan saya, saya berusaha tiap hari supaya ada keajaiban dan tumbuh daun baru. Seminggu ini saya tunggu, tidak terjadi apa-apa. Hanya satu minggu dan satu makhluk hidup mati. Apakah satu minggu cukup untuk membuat mati sebuah cinta.  Rasanya bisa.

Kopi Pekat Bikin Dekat 2

Malam itu dia datang lagi, mengetuk pintu kamarku sambil membawa secangkir kopi. Sudah lama aku biarkan dia menunggu di depan pintu. Aku bertahan dengan kopiku yg tinggal ampas-ampasnya saja. Makin lama makin hambar kurasakan. Malam itu aku tak tahan lagi, aku perlu kopi. Kopinya.

Kopi Pekat Bikin Dekat

Apa yang masih bisa kita pertahankan, selain percumbuan panas di atas ranjang? Kau dan aku tahu, kita  tak bisa lagi seperti dulu. Aku yang sering menuntut dan menyalahkanmu, dan kau yang lupa banyak hal tentang aku. Kopi yang dulu mendekatkan kita. Dari setiap cangkir yang kita minum bersama, jiwa kita mendekat satu depa. Kita sudah seperti dua jiwa di tubuh yang sama. Apa yang kau pikir dan rasakan, selalu hampir sama dengan apa yang ku pikir dan rasakan.  Aku lupa kapan tepatnya kopi pergi dari kita. Kita kehilangan perekat. Kau mencoba mengganti dengan perekat-perekat lain, tapi kau tahu itu tak akan berhasil. Kopi sudah meninggalkan kita, mungkin itulah tandanya. 

Ibu

Pada usia berapa kita siap untuk kehilangan ibu? Setelah mengalaminya, jawaban saya “tidak akan pernah siap”. Ibu sudah bertahun-tahun sakit, usia saya juga sudah lebih dari 40 tahun tetap saja dunia berantakan saat ibu pergi.   Di depan keluarga dan teman-teman saya mungkin terlihat biasa saja, tegar. Itu dengan sengaja saya lakukan untuk menguatkan adik dan ayah saya. Ayah saya selalu merasa lebih baik bila ada saya, karena saya terlihat paling tenang saat detik-detik kepergian ibu saya.   Dengan dingin saya harus memutuskan banyak hal melalui diskusi dengan dokter. Kakak dan adik saya sudah tidak ada yang sanggup bertemu dokter, mereka menyerahkan semua ke saya.   Saya yang menandatangani semua berkas-berkas itu; berkas persetujuan pemasangan ventilator, berkas penolakan tindakan pompa jantung sampai berkas persetujuan pencopotan ventilator dan surat kematian ibu saya. Saya simpan kesedihan saya pada malam-malam sesudahnya.   Saya menangis tak henti sampai tak bisa