Skip to main content

(gak) Pengen Kaya

Belakangan gue sering sekali terusik oleh pembicaraan soal kekayaan. Ada beberapa situasi berbeda yang gue hadapi yang acap membuat gue terdiam, tak bisa mengeluarkan sepatah katapun kala seseorang mengeluarkan statement soal ini. Gue lalu berpikir, apakah gue memang tidak pernah bermimpi menjadi kaya? Kenapa gue merasa itu bukan suatu yang penting? Gue memang bermimpi untuk hidup yang menyenangkan, bisa berbagi dengan orang lain, tapi bukan menjadi kaya raya. Apa yang salah dengan diri gue ya?Gue dari dulu tidak merasa harus pergi kemana-mana naik mobil, harus belanja di tempat-tempat mewah atau makan di tempat-tempat mahal. Apakah karena gue belum penah menjadi “KAYA” ?

Gue tidak merasa hidup gue ini susah, gue juga bukan orang yang pelit untuk berbagi, padahal duit gue juga pas-pas an aja. Entahlah, gue jadi bingung dengan diri gue sendiri. Gue senang harus naik trans jakarta tiap hari, naek ojek, angkot, dll. Kalau gue pas naek taksi, gue sering ngajak orang yang se arah dengan gue untuk bareng, bahkan orang yang gue gak kenal sekalipun. Biasanya orang yang gue ajak itu suka terbengong-bengong. Abis sayang banget masa taksi gue naekin sendiri sementara orang2 di luar sana pada susah cari angkutan umum.

Gue senang bisa jalan kaki menyusuri jalan-jalan di perkampungan daerah rumah gue, melihat bapak-bapak bengong di depan rumahnya, anak-anak kecil pada berantem. Gue seneng makan di lesehan pinggir jalan, naek sepeda keliling kampung. Gue seneng pake baju harga 50 rebuan yang gue beli di ITC asal enak gue pake aja. Satu-satu nya barang yang gue sering beli dengan harga mahal adalah sendal dan sepatu, karena kaki gue ini agak aneh… cepat sekali keseleo atau keplintir dll. Jadi gue harus beli yang tidak membuat kaki gue cedera.

Ada beberapa teman yang menganggap sikap gue ini sikap orang uang tidak akan kaya. Bahkan ada yang menjadikan itu sebagai celaan. Mungkin juga. Kadang gue liat orang-orang disekeliling gue, mereka terbilang kaya, jauh lebih kaya dari gue. Tapi bahkan untuk berbagi sedikit saja kepada orang lain mereka berhitung dengan cermat. Gue pusing!! Mungkin karena gue dibesarkan dalam keluarga besar. Jiwa berbagi gue juga jadi terbentuk disana. Segala sesuatu harus sharing dengan saudara-saudara gue.


Kalau memang gue tidak akan kaya, terus kenapa? Toh selama 34 tahun hidup ini, gue tidak kaya. Dan gue happy abisss dengan hidup gue. Jadi, tidak akan masalah hidup 30 tahun lagi dengan kondisi tidak kaya..ha..ha… Yuuuuk.

Comments

Popular posts from this blog

Et cetera

Banyak hal yang harusnya bisa saya tulis dalam beberapa minggu terakhir ini. Saya berpindah ke lebih dari empat kota dalam sebulan ini, dari Lombok saya ke Bau-bau, lalu berdiam sejenal di Makasar, Jakarta, Bali lalu ke Jakarta kembali. Lelah sudah pasti, kangen suami, apalagi. Dari perjalanan ke berbagai kota itu saya bertemu banyak orang (sebagian besar adalah mereka yang tergabung dalam sebuah organisasi masyarakat sipil) dan mendaapatkan banyak sekali pengetahuan baru tentang dunia OMS ini. Bukan barang baru memang karena saya sudah terlibat di dalamnya selama kurang lebih sepuluh tahun, namun posisi saya di dalam kegiatan itu yang membuatnya berbeda. Saya harus melakukan pemeriksaan terhadap empat organisasi di sultra terkait beberapa aspek, visi dan kepemimpinan, kesolid an tim, budaya organisasi dan knowledge management. Secara umum organisasi ini punya dua problem utama yaitu soal visi dan kepemimpinan yang lemah dan kedua soal knowledge management yang kacau. Lemahnya lea...

22 Februari 2013

Saya bahkan tak sempat berpikir atau berefleksi tentang ulang tahun saya. Minggu ini pekerjaan terasa begitu menggila. Pikiran saya tersita antara word, excel, keynote, email, proposal, laporan penelitian,   TOR, undangan, hotel kaos peserta, tas peserta, modul, dan tentu saja account bank kantor. Semua menarik-narik saya minta dijadikan prioritas. Saya tenggelam. Tapi saya percaya hidup tak akan membiarkan saya terus tenggelam. Saya jalani saja sambil terus berupaya menghidupkan binar mata, menegakan tubuh yang sudah lunglai dan mengembangkan sisa senyum. Pasti akan berakhir juga. Seorang teman terbaik memberikan sepanjang malam nya menemani saya melewati detik-detik ulang tahun saya. Sekumpulan batu yang lama telah ia kumpulkan   dari berbagai pantai di Indonesia ia berikan sebagai kado. Obrolan panjang kami malam itu, membuat saya lompat dari kubangan yang menenggelamkan. Ia memang selalu hadir, di saat seperti ini. Tanpa saya minta. Pagi hari...

Lalu Harus Menyerah Karena Apa?

Pantaskah saya menyerah? Menyerah karena apa? Pagi ini saya masih bisa minum kopi. Membaca beberapa cerita pendek dari pengarang-pengarang yang luar biasa. Lalu saya juga masih bisa berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Ya, memang kadang saya harus memakan waktu lebih lama. Tapi, tidak pernah lebih dari 2 atau 3 jam saja. Tidak seperti ibu di Kulisusu sana yang butuh 12 jam berjalan kaki untuk keluar dari desanya. Tidak sama sekali. Siang ini sayapun masih bisa makan siang dan berbincang seru dengan teman-teman saya. Bukan perbincangan gosip kacangan, tapi perbincangan seru tentang kebodohan masing-masing. Sambil tertawa-tawa menertawakan diri sendiri. Lalu, mau menyerah karena apa? Ya tiap hari saya memang berhadapan dengan orang-orang yang sulit, tak kompeten, manja, sok tau atau keras kepala. Ya, lalu kenapa? Mama-mama di desa sana, berhadapan dengan sistem yang melarang perempuan berbicara, dan mereka bisa. Lalu, saya harus menyerah karena apa...