Skip to main content

Sebuah Sidang

Gue merasa beruntung, mendapatkan kesempatan untuk menyaksikan hal dalam pekerjaan gue sebagai peneliti. Dari sidang tahunan MPR yang gegap gempita, rapat dengar pendapatnya DPR /DPRD, ketemu para petani, nelayan, kepala desa, dsb. Kemaren, untuk pertama kalinya gue ikut dalam sidang sebuah perkara waris di pengadilan agama mataram. Waktu Mark bilang ke gue bahwa tipikal hakim-hakim pengadilan agama di daerah itu tulus-tulus dan baik, gue tidak segera menerima pendapatnya. Yang ada di kepala gue, hakim pengadilan agama itu pasti patriarki dan bias gender...huhu, parahnya gue. Gue sudah memberikan penilaian tanpa pernah sekalipun berhubungan dengan mereka. Padahal ini adalah satu hal yang paling dilarang saat kita ingin berjaringan, gue ingat betul BS menekankan ini saat sharing pengalaman soal networking (Thanks bip). Sidang kemarin sungguh berharga buat gue, disamping mendapat banyak kenalan dari ibu-ibu yang sedang mendaftarkan perceraian gue juga tau betapa beratnya menjadi hakim pengadilan agama.

Kasus waris yang gue datangi kemaren, sangat rumit buat gue. Hey...gue gak pernah ngambil waris Islam S1 dulu, karena gue inget dulu si juned dan cholid bilang ke gue itu kuliah susah banget, ngitung-ngitung..haha. Kerumitan kasus ini karena si pewaris memiliki lima orang istri dan saudara laki-laki dan anak saudara laki-laki yang banyak. Disamping itu bukti kepemilikan dari harta yang jadi sengketa juga gak jelas..ah pusing gue. Jangan dikira jumlah obyek yang disengketakan bernikai ratusan juta, tidak ini jauh dari itu. Si penggugat hanya menuntut 25 juta rupiah. Mereka rela untuk bolak-balik datang ke sidang, untuk nilai yang buat sebagian laiorang hanya satu bulan gaji.

Sidang sudah memasuki tahap pembuktian, untuk itu dihadirkan dua orang saksi dari pihak penggugat. Dua orang yang sudah berusia 73 tahun, laki-laki dan perempuan. Inilah kekaguman gue pada si hakim, dua orang ini sangat sulit memahami pertanyaan hakim. Misalnya saja, saat ibu saksi ditanyakan apa pekerjaannya, dia menjawab, "mencuci". Bapak hakim melanjutkan, "mencuci di mana bu? Di rumah sendiri ya? Kalau begitu berarti ibu rumah tangga ya?" dengan suara selembut, sopan dan sehalus mungkin. Terlihat dia ingin membuat saksi nyaman. Ibu itu menjawab lagi, "bukan, saya mencuci di rumah saya sendiri." Hakim itu tidak meneruskan pertanyaannya, he already got the point. Begitu seterusnya sampai pemeriksaan ibu saksi ini selesai, semua harus ditanyakan dengan cara yang sangat mudah dan sangat perlahan, dengan bahasa yang paling mudah.

Keanehan justru diperlihatkan pengacara dari pihak tergugat, seorang perempuan kira-kira empat puluh tahunan. Dia melontarkan pertanyaan dengan gaya seperti lawyer di pelem-pelem Amerika, dengan bahasa sulit dan nada yang menyecar. Tentu saja si Ibu Saksi jadi bingung dan panik. Akhirnya, bapak hakim itu memparafrase kan semua pertanyaan ibu lawyer ini. Barulah, keterangan yang di butuhkan diperoleh. Gue tidak membayangkan hakim ini harus menghadapi saksi-saksi macam ini setiap hari, kalau gue pasti udah stress berat. Belum lagi mendengarkan orang berantem yang mau cerai dalam sidang-sidang cerai.

Satu hari saja gue nongkrong di pengadilan agama itu, betapa banyak hal yang gue dapatkan.

 

Comments

Popular posts from this blog

Sketsa Malam

Perempuan itu tersenyum manis menatap kanvas lukisnya. Malam ini dia akan membuatkan lukisan malam terindah untuk laki-laki yang dicintainya. Matanya terpejam saat kuas-kuas nya mulai menggoreskan sketsa malamnya, mulutnya tak henti mengeluarkan kata, seolah ia tengah berbincang dengan seseorang. “Selesai sudah”. Ia tersenyum lebar, ia bayangkan wajah gembira kekasihnya menerima lukisan itu. “Kasih, aku buatkan lukisan malam untuk mu” “Aku tak sabar melihatnya” Perempuan itu mengeluarkan lukisannya, meletakan tepat dihadapan kekasihnya. Sebuah pemandangan malam yang   sempurna.   Sebagian besar didominasi hitam keemasan yang ditimbulkan dari refleksi purnama. Bintang besar kecil berserakan di langit menempati posisi nya masing-masing. Purnama itu, ya purnama itu adalah purnama paling sempurna dari semua yang pernah ada. Lukisan itu pun mengeluarkan suara, ada jengkerik, lolongan anjing, gesekan daun.   Musik alam yang menghadirkan suasana antara ad...

Intersection

Saya tidak mengerti, mengapa kamu harus menyembunyikannya. Tahukah kamu, bahwa dari semua tutur kata dan tatapan matamu, aku tahu kamu menyukai dia. Kamu menceritakan dia berulang-ulang seolah dia adalah sumber inspirasi yang tak kunjung habis. Dia selalu mewarnai hari-harimu. Tak pernah satu haripun terlewat tanpa nama nya kau sebutkan. Yaa, memang terkadang kamu menceritakan tentang istrinya, tentang rekan kerjanya atau tentang kejadian-kejadian tidak penting. Tapi bukan kejadian itu yang ingin kau ceritakan. Kau hanya ingin menceritakan dia. Mungkin jiwamu sedang bergejolak. Ada rasa berdosa menyelinap dalam relung-relung dadamu. Tapi juga ada perasaan indah tak tertahan yang menyemburkan jutaan kegairahan hidup. Lalu tiba-tiba kerinduan menyeruak dalam lautan kegalauan yang sedang kau sebrangi, membuat langkahmu berhenti. Dan berhenti. Di titik ini, kau tidak tahu lagi harus bagaimana. Kenapa cinta ini tak lagi semudah masa SMA.. (Kau tercenung sambil memandangi bayimu yang sedan...

22 Februari 2013

Saya bahkan tak sempat berpikir atau berefleksi tentang ulang tahun saya. Minggu ini pekerjaan terasa begitu menggila. Pikiran saya tersita antara word, excel, keynote, email, proposal, laporan penelitian,   TOR, undangan, hotel kaos peserta, tas peserta, modul, dan tentu saja account bank kantor. Semua menarik-narik saya minta dijadikan prioritas. Saya tenggelam. Tapi saya percaya hidup tak akan membiarkan saya terus tenggelam. Saya jalani saja sambil terus berupaya menghidupkan binar mata, menegakan tubuh yang sudah lunglai dan mengembangkan sisa senyum. Pasti akan berakhir juga. Seorang teman terbaik memberikan sepanjang malam nya menemani saya melewati detik-detik ulang tahun saya. Sekumpulan batu yang lama telah ia kumpulkan   dari berbagai pantai di Indonesia ia berikan sebagai kado. Obrolan panjang kami malam itu, membuat saya lompat dari kubangan yang menenggelamkan. Ia memang selalu hadir, di saat seperti ini. Tanpa saya minta. Pagi hari...