Skip to main content

Berubah?

Lingkungan sudah dipastikan banyak mempengaruhi kebiasaan hidup seseorang. Jangankan buat orang yang pindah dari negara yang punya dua musim ke negara empat musim. Gue yang pindah dalam satu negarapun punya banyak perubahan. Beberapa diantaranya, gue selalu sarapan di Lombok, padahal di Jakarta gue gak pernah pengen menyentuh makanan apapun di pagi hari. Paling pol gue minum kopi dan roti sepotong. Di sini gue makan lengkap, nasi dan lauk-pauknya. Walaupun tetap ditutup dengan secangkir kopi. Kebiasaan ke dua yang berubah adalah selimut, sepanas apapun udara gue selalu tidur dengan selimut saat di Jakarta. Rasanya ada yang salah kalau gue tidak menggunakannya, walaupun itu Cuma selimut tipis dan dipakenya juga basa-basi, yang penting ada bagian tubuh gue yang kena selimut. Di Lombok...wohooo..boro-boro selimut. Memang udara di Lombok agak lebih panas, tapi gak beda-beda bangetlah jakarta kalau malam hari.

Kemudian soal musik,gue selalu nyaman mendengarkan lagu jazz saat gue bekerja. Rasanya tenang dan membuat mood gue timbul. Nah, sekarang ini disamping musik jazz ada jenis musik baru yang gue gilai untuk menemani bekerja. Hmm, definetly bukan jenis musiknya papa R yang bikin gue pusing dan pengen banting-banting piring. Gue suka mendengarkan gamelan jawa, gamelan klasik yang dulu sering mengiringi gue menari. Yup, mungkin sedikit aneh, karena orang lain pasti langsung tertidur mendengarkannya, tapi buat gue efeknya sungguh berbeda. Gue jadi bersemangat. Gue agak suka dengan musik itu saat masih kecil, sering gue matiin kalau bokap gue pasang di tape..haha.

Gue gak tau apa sebab gue berubah, gue rasa bukan karena perubahan tempat tinggal tapi lingkungan pergaulan gue yang berubah. Perubahan makan, mungkin sekali karena suami gue selalu sarapan kalau pagi. Gue yang awalnya Cuma ngeliatin, terus minta sedikit-sedikit, lama-lama jadi makan beneran. Biarpun suami gue juga Cuma tiga hari di rumah. Soal selimut, gue gak punya penjelasan apapun. Sedangkan soal musik, mungkin itu kompensasi kerinduan gue dengan keluarga. Gamelan jawa adalah simbol yang mewakili mereka. Gue merasa mereka menyemangati gue saat gue putar.

Apalagi yang akan berubah?

Comments

Popular posts from this blog

Et cetera

Banyak hal yang harusnya bisa saya tulis dalam beberapa minggu terakhir ini. Saya berpindah ke lebih dari empat kota dalam sebulan ini, dari Lombok saya ke Bau-bau, lalu berdiam sejenal di Makasar, Jakarta, Bali lalu ke Jakarta kembali. Lelah sudah pasti, kangen suami, apalagi. Dari perjalanan ke berbagai kota itu saya bertemu banyak orang (sebagian besar adalah mereka yang tergabung dalam sebuah organisasi masyarakat sipil) dan mendaapatkan banyak sekali pengetahuan baru tentang dunia OMS ini. Bukan barang baru memang karena saya sudah terlibat di dalamnya selama kurang lebih sepuluh tahun, namun posisi saya di dalam kegiatan itu yang membuatnya berbeda. Saya harus melakukan pemeriksaan terhadap empat organisasi di sultra terkait beberapa aspek, visi dan kepemimpinan, kesolid an tim, budaya organisasi dan knowledge management. Secara umum organisasi ini punya dua problem utama yaitu soal visi dan kepemimpinan yang lemah dan kedua soal knowledge management yang kacau. Lemahnya lea

22 Februari 2013

Saya bahkan tak sempat berpikir atau berefleksi tentang ulang tahun saya. Minggu ini pekerjaan terasa begitu menggila. Pikiran saya tersita antara word, excel, keynote, email, proposal, laporan penelitian,   TOR, undangan, hotel kaos peserta, tas peserta, modul, dan tentu saja account bank kantor. Semua menarik-narik saya minta dijadikan prioritas. Saya tenggelam. Tapi saya percaya hidup tak akan membiarkan saya terus tenggelam. Saya jalani saja sambil terus berupaya menghidupkan binar mata, menegakan tubuh yang sudah lunglai dan mengembangkan sisa senyum. Pasti akan berakhir juga. Seorang teman terbaik memberikan sepanjang malam nya menemani saya melewati detik-detik ulang tahun saya. Sekumpulan batu yang lama telah ia kumpulkan   dari berbagai pantai di Indonesia ia berikan sebagai kado. Obrolan panjang kami malam itu, membuat saya lompat dari kubangan yang menenggelamkan. Ia memang selalu hadir, di saat seperti ini. Tanpa saya minta. Pagi hari, teman t

Paris I Love u

Saya penikmat film-film drama romantis, walaupun kata orang film-film macam itu “kacangan”. Ah, tapi saya tidak terlalu peduli dengan kata orang. Saya menonton dan membaca yang saya suka.   Ada satu hal yang saya nikmati dengan film-film drama romantis, mereka menampilkan tempat-tempat yang memang ingin saya datangi. Danau yang indah, city light, jalan-jalan romantis, café yang nyaman, kopi yang enak. Minggu ini saya menonton lebih dari lima film dengan setting kota Paris. Ya, saya memang selalu terobsesi dengan Paris, kota yang harus saya datangi sebelum saya mati.   Para pembuat film ini sungguh membuat saya menjadi terengah-engah untuk segera mewujudkan mimpi saya. Saya seperti ingin segera berada di sana. Mungkin sekali sebagian besar yang ditampilkan di film-film itu adalah fantasi, tapi saya tetap ingin ke sana. Saya benci dengan kenyataan bahwa film-film Indonesia tidak bisa membuat saya melihat kota-kota di Indonesia dengan cara yang sama.   Jakarta misalnya