Gue merasa tidak pernah terlalu mencintai kota ini. Macet, panas, pengap. Semua orang tergesa, tak ada yang santai menikmati suasana. Wajah-wajah tegang, ketidakpedulian dan kekejaman mengalir deras dalam darah kota ini. Harusnya gue dapat dengan mudah meninggalkannya, tanpa ada haru biru kesedihan. Tapi mengapa tidak demikian adanya.
Sudut-sudut kota ini menyimpan banyak penggalan cerita hidup gue seperti halnya gue menyimpan banyak cerita tentang kota ini. Satu-satu persatu gambar-gambar itu muncul dalam kepala gue, seperti kumpulan film pendek.
Slide Pertama
Sebuah warung kopi, di sebuah mall di bilangan Jakarta selatan. Di sana kami sering bertemu. Kami bisa bercerita tentang apa saja, dari soal politik, hukum, sampai seksualitas. Ribuan pembicaraan, ribuan nasehat dan motivasi hidup yang kami share. Dunia harusnya bangga memiliki kita, persahabatan yang tulus tanpa persaingan, tanpa penghakiman, tulus. Ketulusan memang barang langka di kota ini, hanya dengan mereka gue bisa merasakannya.
Kadang kami berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya, tanpa tujuan yang jelas. Suatu malam di bulan Ramadhan, kami juga sempat sahur bersama di restoran cepat saji di daerah Thamrin. Atau di suatu malam yang lain, kami terpuruk di rumah Ij menonton DVD sampe pagi.
Slide kedua
Di bilangan fatmawati dan sekitarnya. Ini adalah kisah dengan nggir dan Iv, dua sahabat lain dalam hidup gue. Kami mengalami berbagai kegilaan dan pergolakan jiwa bersama. Dari mulai masuk ke klub-klub malam yang tidak jelas, kelayapan di bebagai lesehan serta mandi hujan dilapangan rumput . Kami juga share rasa sakit yang mendalam yang dialami bersama, menangis bersama dan tertawa bersama. Ada kebiasaan unik kami waktu itu, membuat foto box disetiap momentum penting yang kita lewati, walaupun kadang criteria momentumnya juga gak jelas.
Slide Ketiga
Ragunan, gue tinggal disana sejak umur dua tahun. Masih terbayang suasananya dulu, penuh dengan pepohonan, jalan masih tanah, belum ada listrik. Rumah gue masih pake petromak, yang harus dipompa setiap beberapa jam, agar nyalanya tidak meredup. Gue ingat sering mengantar Mbak gue dulu untuk nge charge AQ, untuk nonton tv. Jalan raya KKO pun masih sepi, mall itu dulu adalah sebuah gedung bioskop. Gue menonton film2 warkop DKI, Ari Hanggara, Saur Sepuh sampai Superman di bioskop itu. Gue dulu sering tidur-tiduran di jalan KKO, menunggu sampai mobil lewat.
Di Ragunan, gue meninggalkan banyak cinta. Kedua orang tua gue, mereka tidak pernah rela melepas gue ke Lombok. “Siapa yang akan Ibu bukakan pintu kalau kamu gak di Jakarta?” Ibu berkata setiap hari saat gue menyatakan ingin pindah ke Lombok. Gue memang sering pulang malam, dan ibu selalu menunggu gue dengan terkantuk untuk membukakan pintu. Menulis bagian ini pun sudah membuat gue menangis tiada henti. Gue begitu mencintai mereka, Bapak-Ibu gue. Tak pernah satu kalipun gue terpisah dengan mereka untuk waktu yang lama. Ini adalah kali pertama. Mereka sungguh tidak rela gue pergi, tapi mereka sadar, setelah menikah gue punya tanggung jawab pada suami.
Lalu adik perempuan gue, dia adalah belahan jiwa gue. Hampir seluruh hidup gue, gue lewati bersama dia. Kami sudah seperti anak kembar, yang kemanapun gue pergi selalu ada dia, begitupun sebaliknya. Adik gue mungkin orang yang paling paham tentang gue, dia juga yang mungkin paling sering kena omelan gue. Tapi dia selalu bisa memaafkan gue, apapun yang pernah gue perbuat padanya. Begitu pun sebaliknya.
Adik laki-laki gue, dia adalah saudara laki-laki gue yang terdekat. Tepatnya kami bertiga gue, adik gue yang perempuan dan adik gue yang laki-laki, lebih merasa dekat satu sama lain dibanding dengan kakak-kakak gue. Kami sering pergi karaoke bareng, dengan pasangan masing-masing dan ponakan-ponakan gue. Atau pergi belanja dan makan bareng. Kalau diantara kakak-kakak gue seperti ada persaingan yang tidak terlihat diantara mereka, maka tidak demikian dengan kami. Kami lebih santai dan hangat.
Slide ke empat
Taman Ismail Marzuki, tempat favorit gue, banyak cerita gue tinggalkan di sana. Cerita tentang kisah cinta yang tak berakhir bahagia. Hanya saja, kami tahu bahwa cinta itu tidak pergi, dia hanya tidak muncul di permukaan. Kini kami menjadi sahabat sejati sampai mati, walau banyak orang yang sering mencibir curiga. Di TIM kami melewati malam-malam yang panjang, ngobrol sampai pagi, nonton bioskop, acara music sampe wayang kulit. Dia membawa gue ke sisi Jakarta yang berbeda.
Slide ke lima
Kuningan, kantor itu. Dia menjadi bagian penting dalam kehidupan intelektualitas gue. Teman-teman yang lucu dan pintar. Sebagian bahkan terlalu lucu, sehingga gak cocok disebut peneliti yang stereotiopnya serius, gak asik dan tukang ngritik. Membahagiakan bisa menjadi bagian dari gerombolan ini. Sessi-sesi makan siang bareng dari di saiyo, imut-imut, ampera dua tak, sop sumsum dan sederhana, adalah momen tak terlupakan. Belum lagi malam-malam yang kami lewati untuk begadang bersama, sungguh gak tergantikan. Gak kebayang hidup gue tanpa gerombolan ini, pasti sangat boring dan menjemukan.
Betapapun gue gak suka Jakarta, tapi Jakarta sudah menyadera banyak cinta gue. Sehingga mau tak mau gue akan kembali menjemputnya.
Sudut-sudut kota ini menyimpan banyak penggalan cerita hidup gue seperti halnya gue menyimpan banyak cerita tentang kota ini. Satu-satu persatu gambar-gambar itu muncul dalam kepala gue, seperti kumpulan film pendek.
Slide Pertama
Sebuah warung kopi, di sebuah mall di bilangan Jakarta selatan. Di sana kami sering bertemu. Kami bisa bercerita tentang apa saja, dari soal politik, hukum, sampai seksualitas. Ribuan pembicaraan, ribuan nasehat dan motivasi hidup yang kami share. Dunia harusnya bangga memiliki kita, persahabatan yang tulus tanpa persaingan, tanpa penghakiman, tulus. Ketulusan memang barang langka di kota ini, hanya dengan mereka gue bisa merasakannya.
Kadang kami berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya, tanpa tujuan yang jelas. Suatu malam di bulan Ramadhan, kami juga sempat sahur bersama di restoran cepat saji di daerah Thamrin. Atau di suatu malam yang lain, kami terpuruk di rumah Ij menonton DVD sampe pagi.
Slide kedua
Di bilangan fatmawati dan sekitarnya. Ini adalah kisah dengan nggir dan Iv, dua sahabat lain dalam hidup gue. Kami mengalami berbagai kegilaan dan pergolakan jiwa bersama. Dari mulai masuk ke klub-klub malam yang tidak jelas, kelayapan di bebagai lesehan serta mandi hujan dilapangan rumput . Kami juga share rasa sakit yang mendalam yang dialami bersama, menangis bersama dan tertawa bersama. Ada kebiasaan unik kami waktu itu, membuat foto box disetiap momentum penting yang kita lewati, walaupun kadang criteria momentumnya juga gak jelas.
Slide Ketiga
Ragunan, gue tinggal disana sejak umur dua tahun. Masih terbayang suasananya dulu, penuh dengan pepohonan, jalan masih tanah, belum ada listrik. Rumah gue masih pake petromak, yang harus dipompa setiap beberapa jam, agar nyalanya tidak meredup. Gue ingat sering mengantar Mbak gue dulu untuk nge charge AQ, untuk nonton tv. Jalan raya KKO pun masih sepi, mall itu dulu adalah sebuah gedung bioskop. Gue menonton film2 warkop DKI, Ari Hanggara, Saur Sepuh sampai Superman di bioskop itu. Gue dulu sering tidur-tiduran di jalan KKO, menunggu sampai mobil lewat.
Di Ragunan, gue meninggalkan banyak cinta. Kedua orang tua gue, mereka tidak pernah rela melepas gue ke Lombok. “Siapa yang akan Ibu bukakan pintu kalau kamu gak di Jakarta?” Ibu berkata setiap hari saat gue menyatakan ingin pindah ke Lombok. Gue memang sering pulang malam, dan ibu selalu menunggu gue dengan terkantuk untuk membukakan pintu. Menulis bagian ini pun sudah membuat gue menangis tiada henti. Gue begitu mencintai mereka, Bapak-Ibu gue. Tak pernah satu kalipun gue terpisah dengan mereka untuk waktu yang lama. Ini adalah kali pertama. Mereka sungguh tidak rela gue pergi, tapi mereka sadar, setelah menikah gue punya tanggung jawab pada suami.
Lalu adik perempuan gue, dia adalah belahan jiwa gue. Hampir seluruh hidup gue, gue lewati bersama dia. Kami sudah seperti anak kembar, yang kemanapun gue pergi selalu ada dia, begitupun sebaliknya. Adik gue mungkin orang yang paling paham tentang gue, dia juga yang mungkin paling sering kena omelan gue. Tapi dia selalu bisa memaafkan gue, apapun yang pernah gue perbuat padanya. Begitu pun sebaliknya.
Adik laki-laki gue, dia adalah saudara laki-laki gue yang terdekat. Tepatnya kami bertiga gue, adik gue yang perempuan dan adik gue yang laki-laki, lebih merasa dekat satu sama lain dibanding dengan kakak-kakak gue. Kami sering pergi karaoke bareng, dengan pasangan masing-masing dan ponakan-ponakan gue. Atau pergi belanja dan makan bareng. Kalau diantara kakak-kakak gue seperti ada persaingan yang tidak terlihat diantara mereka, maka tidak demikian dengan kami. Kami lebih santai dan hangat.
Slide ke empat
Taman Ismail Marzuki, tempat favorit gue, banyak cerita gue tinggalkan di sana. Cerita tentang kisah cinta yang tak berakhir bahagia. Hanya saja, kami tahu bahwa cinta itu tidak pergi, dia hanya tidak muncul di permukaan. Kini kami menjadi sahabat sejati sampai mati, walau banyak orang yang sering mencibir curiga. Di TIM kami melewati malam-malam yang panjang, ngobrol sampai pagi, nonton bioskop, acara music sampe wayang kulit. Dia membawa gue ke sisi Jakarta yang berbeda.
Slide ke lima
Kuningan, kantor itu. Dia menjadi bagian penting dalam kehidupan intelektualitas gue. Teman-teman yang lucu dan pintar. Sebagian bahkan terlalu lucu, sehingga gak cocok disebut peneliti yang stereotiopnya serius, gak asik dan tukang ngritik. Membahagiakan bisa menjadi bagian dari gerombolan ini. Sessi-sesi makan siang bareng dari di saiyo, imut-imut, ampera dua tak, sop sumsum dan sederhana, adalah momen tak terlupakan. Belum lagi malam-malam yang kami lewati untuk begadang bersama, sungguh gak tergantikan. Gak kebayang hidup gue tanpa gerombolan ini, pasti sangat boring dan menjemukan.
Betapapun gue gak suka Jakarta, tapi Jakarta sudah menyadera banyak cinta gue. Sehingga mau tak mau gue akan kembali menjemputnya.
Comments