Skip to main content

Pak Nan dan Emak

Adalah Pak Nan dan Emak, gue memanggilnya demikian. Saudara jauh dari bokap yang tinggal bersebelahan dengan rumah gue. Sejak kecil gue sangat akrab dengan keluarga itu, gue sering tidur di rumahnya, belajar ngaji dengan ponakannya dan membantu mencabuti uban di kepala Pak Nan. Keluarga ini tidak dikaruniai anak, dan memutuskan untuk mengadopsi seorang putri pada tahun 1982. Putri kecilnya kemudian menikah dan dikaruniai 2 putra.

Kalau gue pernah melihat seorang anak yang begitu berani dengan kedua orang tuanya, maka putri pak Nan inilah contohnya. Dia berani untuk membentak kedua orang tua itu. Dia asik nongkrong di warung atau menginap di rumah teman sementara dua anaknya yang kecil menjadi tanggungan Pak Nan dan Emak. Yang paling membuat gue ingin menangis adalah, Pak Nan kemaren pingsan di rumahnya. Apa pasal? Ternyata putri tercintanya diam-diam telah menukar semua perhiasan emasnya dengan perhiasan palsu. Uang tabungannya di bank pun telah habis terkuras karena ATM nya dipegang oleh putrinya.

Gue memandang iba pada pasangan ini yang terlihat sedang menyapu halaman rumah mereka pagi tadi. Guratan keletihan dan kemarahan jelas mengukir wajah mereka yang renta. Kalau gue boleh memilih satu hal yang tidak boleh dilakukan, maka gue akan memilih tidak akan menyakiti hati orang tua gue.Gue yakin sakitnya hati orang tua yang dilukai oleh anaknya tidak bisa dibandingkan dengan rasa sakit hati yang manapun. Sakit yang belum gue ketahui seperti apa rasanya, dan semoga tidak gue lakukan pada orang tua gue.

Comments

Popular posts from this blog

Et cetera

Banyak hal yang harusnya bisa saya tulis dalam beberapa minggu terakhir ini. Saya berpindah ke lebih dari empat kota dalam sebulan ini, dari Lombok saya ke Bau-bau, lalu berdiam sejenal di Makasar, Jakarta, Bali lalu ke Jakarta kembali. Lelah sudah pasti, kangen suami, apalagi. Dari perjalanan ke berbagai kota itu saya bertemu banyak orang (sebagian besar adalah mereka yang tergabung dalam sebuah organisasi masyarakat sipil) dan mendaapatkan banyak sekali pengetahuan baru tentang dunia OMS ini. Bukan barang baru memang karena saya sudah terlibat di dalamnya selama kurang lebih sepuluh tahun, namun posisi saya di dalam kegiatan itu yang membuatnya berbeda. Saya harus melakukan pemeriksaan terhadap empat organisasi di sultra terkait beberapa aspek, visi dan kepemimpinan, kesolid an tim, budaya organisasi dan knowledge management. Secara umum organisasi ini punya dua problem utama yaitu soal visi dan kepemimpinan yang lemah dan kedua soal knowledge management yang kacau. Lemahnya lea

22 Februari 2013

Saya bahkan tak sempat berpikir atau berefleksi tentang ulang tahun saya. Minggu ini pekerjaan terasa begitu menggila. Pikiran saya tersita antara word, excel, keynote, email, proposal, laporan penelitian,   TOR, undangan, hotel kaos peserta, tas peserta, modul, dan tentu saja account bank kantor. Semua menarik-narik saya minta dijadikan prioritas. Saya tenggelam. Tapi saya percaya hidup tak akan membiarkan saya terus tenggelam. Saya jalani saja sambil terus berupaya menghidupkan binar mata, menegakan tubuh yang sudah lunglai dan mengembangkan sisa senyum. Pasti akan berakhir juga. Seorang teman terbaik memberikan sepanjang malam nya menemani saya melewati detik-detik ulang tahun saya. Sekumpulan batu yang lama telah ia kumpulkan   dari berbagai pantai di Indonesia ia berikan sebagai kado. Obrolan panjang kami malam itu, membuat saya lompat dari kubangan yang menenggelamkan. Ia memang selalu hadir, di saat seperti ini. Tanpa saya minta. Pagi hari, teman t

Paris I Love u

Saya penikmat film-film drama romantis, walaupun kata orang film-film macam itu “kacangan”. Ah, tapi saya tidak terlalu peduli dengan kata orang. Saya menonton dan membaca yang saya suka.   Ada satu hal yang saya nikmati dengan film-film drama romantis, mereka menampilkan tempat-tempat yang memang ingin saya datangi. Danau yang indah, city light, jalan-jalan romantis, café yang nyaman, kopi yang enak. Minggu ini saya menonton lebih dari lima film dengan setting kota Paris. Ya, saya memang selalu terobsesi dengan Paris, kota yang harus saya datangi sebelum saya mati.   Para pembuat film ini sungguh membuat saya menjadi terengah-engah untuk segera mewujudkan mimpi saya. Saya seperti ingin segera berada di sana. Mungkin sekali sebagian besar yang ditampilkan di film-film itu adalah fantasi, tapi saya tetap ingin ke sana. Saya benci dengan kenyataan bahwa film-film Indonesia tidak bisa membuat saya melihat kota-kota di Indonesia dengan cara yang sama.   Jakarta misalnya