Skip to main content

Tau Samawa

Setelah berhasil bernegosiasi dengan orang tua gue untuk tidak menggunakan adat-adat dalam pernikahan, ternyata gue tidak bisa terlepas sama sekali dengan hal itu. Di Sumbawa, ada serangkaian prosesi adat yang harus gue jalankan sebelum resepsi pernikahan. Gue bukan tidak menghormati adat, justru gue sangat percaya bahwa rangkaian adat-adat itu pasti punya nilai kebijkannya sendiri. Tapi sungguh gue tidak punya banyak waktu untuk mengikuti semuanya. Dalam perkawinan Sumbawa, calon pengantin harus mengikuti upacara luluran selama satu minggu berturut-turut dengan lulur yang berbeda-beda. Bagian ini berhasil gue skip. Selanjutnya gue harus ikut acara Barodak dan Mancar, tiga hari sebelum berlangsungnya resepsi. Pada bagian ini gue dan suami duduk berdampingan, kepala kami diberi kerudung kain Sumbawa. Selanjutnya ada pengajian dan pembacaan shalawat Nabi. Usai itu, ada tetabuhan yang dibawakan oleh ibu-ibu dengan kidung-kidung khas tau samawa (orang sumbawa). Di sebelah gue telah siap beberapa sajian, seperti ketan berbentuk seperti tumpeng dengan ukuran yang lebih kecil. Kemudian juga ada pisang, air yang di dalamnya berisi daun-daunan dan telur.

Prosesi pertama, ada seorang ibu-ibu yang merupakan kerabat dekat dari Mamah yang menyalakan lilin, lalu lilin itu diputar beberapa kali mengelilingi kami. Setelah selesai kami diminta meniup berdua lilin tersebut. Kemudian ibu tersebut mengambil pacar yang sudah dibuat bulat-bulat seperti tahi kambing (sumpah, gue kira tadinya tai kambing), pacar tersebut kemudian diletakan di telapak tangan kami berdua.

Kemudian maju seorang ibu lagi, dia mengambil ketan dan menyuapkan kepada kami secara bergantian. Lalu dia mengambil lulur dan menorehkannya pada wajah kami, sama seperti tadi dia juga menaruh pacar di telapak tangan kami. Begitu bergantian sampai semua orang yang merupakan orang-orang tua kebagian, semua mereka memberikan doa saat menorehkan lulur dan pacar. Kami merasa begitu diberkati.

Selesai acara mancar, kami lalu dibawa ke tempat siraman. Wajah kami dibersihkan dari bulu-bulu, juga lidah kami dibersihkan dengan silet. Selanjutnya siraman dilakukan, selama proses tersebut, kami harus menginjak telur secara bersamaan. Air yang digunakan untuk siraman ini diambil dari tiga mata air yang dikematkan oleh keluarga mamah. Kenapa keluarga mamah? Karena keluarga mamah adalah keturunan asli sumbawa, belum ada percampuran lagi. Mamah juga seorang ningrat disana, dengan gelar Dea.

Acara hari itu diakhiri dengan makan bersama sepat sumbawa, masakan khas Sumbawa.

Esokan harinya, sore hari sekitar pukul 16.00, saya kembali melakukan siraman. Kali ini Haji Jamal yang menyiram kami. Tujuan siraman ini adalah untuk menghindari adanya gangguan saat acara, katanya sih di Sumbawa saat pernikahan adalah ajang adu ilmu, jadi sering ada yang ganggu.

Besoknya acara resepsi, perias gue adalah seorang gay. Gue agak anak sebenernya, secara di budaya Jawa yang tidak terlalu religius, perias penganten biasanya harus perempuan dan tidak sembarangan orang bisa. Katanya sih ada doa-doa khusus. Nah, ini di Sumbawa yang notabene sangat religius, periasnya gay, keren deh. Acara resepsinya berlangsung cuma sekitar 1 jam 30 menit aja. Ada tari-tarian sebagai penyambut penganten ada juga hiburan lagu-lagu Sumbawa.

Begitulah prosesi gue untuk menjadi tau samawa..

Comments

Popular posts from this blog

Et cetera

Banyak hal yang harusnya bisa saya tulis dalam beberapa minggu terakhir ini. Saya berpindah ke lebih dari empat kota dalam sebulan ini, dari Lombok saya ke Bau-bau, lalu berdiam sejenal di Makasar, Jakarta, Bali lalu ke Jakarta kembali. Lelah sudah pasti, kangen suami, apalagi. Dari perjalanan ke berbagai kota itu saya bertemu banyak orang (sebagian besar adalah mereka yang tergabung dalam sebuah organisasi masyarakat sipil) dan mendaapatkan banyak sekali pengetahuan baru tentang dunia OMS ini. Bukan barang baru memang karena saya sudah terlibat di dalamnya selama kurang lebih sepuluh tahun, namun posisi saya di dalam kegiatan itu yang membuatnya berbeda. Saya harus melakukan pemeriksaan terhadap empat organisasi di sultra terkait beberapa aspek, visi dan kepemimpinan, kesolid an tim, budaya organisasi dan knowledge management. Secara umum organisasi ini punya dua problem utama yaitu soal visi dan kepemimpinan yang lemah dan kedua soal knowledge management yang kacau. Lemahnya lea...

22 Februari 2013

Saya bahkan tak sempat berpikir atau berefleksi tentang ulang tahun saya. Minggu ini pekerjaan terasa begitu menggila. Pikiran saya tersita antara word, excel, keynote, email, proposal, laporan penelitian,   TOR, undangan, hotel kaos peserta, tas peserta, modul, dan tentu saja account bank kantor. Semua menarik-narik saya minta dijadikan prioritas. Saya tenggelam. Tapi saya percaya hidup tak akan membiarkan saya terus tenggelam. Saya jalani saja sambil terus berupaya menghidupkan binar mata, menegakan tubuh yang sudah lunglai dan mengembangkan sisa senyum. Pasti akan berakhir juga. Seorang teman terbaik memberikan sepanjang malam nya menemani saya melewati detik-detik ulang tahun saya. Sekumpulan batu yang lama telah ia kumpulkan   dari berbagai pantai di Indonesia ia berikan sebagai kado. Obrolan panjang kami malam itu, membuat saya lompat dari kubangan yang menenggelamkan. Ia memang selalu hadir, di saat seperti ini. Tanpa saya minta. Pagi hari...

Lalu Harus Menyerah Karena Apa?

Pantaskah saya menyerah? Menyerah karena apa? Pagi ini saya masih bisa minum kopi. Membaca beberapa cerita pendek dari pengarang-pengarang yang luar biasa. Lalu saya juga masih bisa berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Ya, memang kadang saya harus memakan waktu lebih lama. Tapi, tidak pernah lebih dari 2 atau 3 jam saja. Tidak seperti ibu di Kulisusu sana yang butuh 12 jam berjalan kaki untuk keluar dari desanya. Tidak sama sekali. Siang ini sayapun masih bisa makan siang dan berbincang seru dengan teman-teman saya. Bukan perbincangan gosip kacangan, tapi perbincangan seru tentang kebodohan masing-masing. Sambil tertawa-tawa menertawakan diri sendiri. Lalu, mau menyerah karena apa? Ya tiap hari saya memang berhadapan dengan orang-orang yang sulit, tak kompeten, manja, sok tau atau keras kepala. Ya, lalu kenapa? Mama-mama di desa sana, berhadapan dengan sistem yang melarang perempuan berbicara, dan mereka bisa. Lalu, saya harus menyerah karena apa...