Kedekatan gue dengan kopi dimulai sejak gue masih sangat kecil. Kakek gue dulu punya kebun kopi yang lumayan besar, dengan tanaman kopi yang subur dan biji-biji kopi yang ranum. Gue masih mengingatnya dengan jelas, bau harum kebun basah dan harum biji kopi yang masak. Gue juga masih ingat penggalan perasaan gue yang tak menentu saat itu, rasa senang bercampur penasaran, ngeblend dalam cita rasa kesukacitaan yang tinggi. Sampai di kebun, gue selalu tidak sabar untuk memanjat batang-batangnya dan memasukan satu persatu biji-biji yang sudah kemerahan ke dalam semacam bakul besar yang gue bawa naek ke atas. Jangan ditanya betapa banyaknya semut merah yang mengerubuti gue saat itu, tapi gak menghalangi semangat gue untuk memetik kopi.
Sayang kakek gue harus menjual kebun kopinya, karena perlu biaya yang besar untuk mengobati kakinya yang lumpuh saat itu. Tapi kenangan masa kecil gue memetik kopi bersama sepupu gue terus menginspirasi gue untuk memiliki kebun kopi disaat gue dewasa.
Sejak SD sampai sekarang, hampir tiap hari gue meminum secangkir kopi. Dulu gue punya tugas untuk membuatkan nyokap gue secangkir kopi, sehabis bantuin cuci piring dan ngepel rumah. Sekarang gue suka eksperimen sendiri dengan kopi bubuk dirumah, entah itu kopi aceh, lampung or sumbawa yang dibawain temen-temen. So far, seringan gagalnya..he..he.. Gue melampiaskan dengan mengunjungi berbagai kedai kopi di jakarta dan kota-kota yang gue singgahi. Untuk yang satu ini, thanks to Deassy yang menjadi partner in crime gue.
Obsesi gue akan kebun kopi sudah gue lampiaskan dengan mengunjungi tiga kebun kopi. Pertama di Aceh tengah, saat gue ada penelitian disana, kedua di Bromo dan ketiga di Sumbawa. Gue langsung merasa bahwa gue harus segera mewujudkan cita-cita kecil gue untuk punya kebun kopi.
Comments