Skip to main content

Mencari Rekan Seperjalanan


Mencari rekan seperjalanan untuk sebuah perjalanan panjang sesungguhnya sangat mirip dengan mencari pasangan hidup. Ini berlaku untuk perjalanan panjang yang durasinya mencapai satu bulanan. Kalau cuma perjalanan 2 hari sampai satu minggu mungkin kita bisa saja berpasangan dengan siapa saja.  Sebagaimana perjalanan panjang untuk memulai perjalanan berumah tangga ada beberapa hal yang perlu disepakati atau disadari dari awal:

1.     Kesepakatan Rute Perjalanan

Untuk memulai perjalanan panjang kita punya rencana tempat-tempat mana yang akan kita kunjungi, moda transportasi apa yang perlu digunakan serta berapa waktu yang dibutuhkan. Kita sepakat bahwa untuk mencapai kota Fakfak maka kita perlu transit di Ambon terlebih dahulu, bermalam dan baru pergi keesokan subuh. Pasangan perjalanan tidak bisa memaksakan bahwa harus tiba di Fakfak hari itu apapun yang terjadi. Begitupun dalam kehidupan rumah tangga, ke dua belah pihak harus sepenuhnya sadar untuk terlebih dahulu bersabar  transit di Ambon sebelum sampai Fakfak. Sadar pula bahwa untuk ke Fakfak hanya ada pesawat kecil dengan baling baling bambu, tidak ada Boeing.  Dalam perjalanan berumah tangga bisa dianalogikan kesulitan-kesulitan untuk mencapai tujuan bersama. Tapi toh, kita bisa tetap bersenang-senang di Ambon. Ada pantai yang indah, rujak yang enak dan warung kopi yang luar biasa. Kalau di rumah tangga belum ada rumah yang bagus, mobil atau apapun keduniawian dan kerohanian yang tercapai, toh masih bisa gandengan tangan di dalam bis, atau berpelukan di sepeda motor. Semuanya sama membahagiakan, tinggal bagaimana mensiasatinya.


2.     Kesepakatan Model Perjalanan

Selain kesepakatan tujuan, model perjalanan perlu disepakati. Gak semua orang bisa tidur di hotel murahan atau naik transportasi publik seadanya. Masing-masing pihak perlu tahu konsekuensi dari model perjalanan ini. Kalau perjalanan yang disepakati ala koper, maka kedua pihak harus kerja keras untuk mencapai model perjalanan itu. Tapi kalau keduanya tidak keberatan ala ransel, maka  negosiasinya mungkin tak terlalu keras.  Atau bisa juga kombinasi ke duanya, ada waktu ala koper dan kadang ala ransel. Tergantung situasi dan kondisi.  Saya pikir ini luar biasa penting untuk pasangan manapun yang akan memulai kehidupan berumah tangga. Karena seringkali kehidupan perkawinan yang begitu membahagiakan menjadi rumit dan berantakan karena masalah model ini.

3.     Tujuan Belum Tentu Seindah Bayangan

Oke, sudah sampai di Fakfak. Ternyata di Fakfak kita perlu kerja keras untuk mencapai hasil. Tidak semudah yang dibayangkan.  Lalu, perlukah menyesali perjalanan yang sudah dilakukan? Tentu perlu cari strategi-strategi baru agar tujuan bisa dicapai. Kalau tak tercapai juga, gak perlu sedih banyak di luar tujuan yang bisa dinikmati.  Ada kota Kokas yang indah, ada air terjun keren, atau bahkan hanya berbincang dengan penduduk yang ramah-ramah.

4.     Perhatikan Kondisi Rekan Seperjalanan

Jangan egois, jangan memaksakan tujuan perjanalanan saat rekan perjalanan kita sedang tidak bisa melakukannya. Pengen jalan-jalan menjelajah Lombok ternyata rekan perjalanan kita sedang kurang tidur, masa iya kita paksakan pasangan kita jadi zombi.  Biar rekan kita cukup istirahat dan memulai menjelajah bersama.  Atau pergi sendiri saat pasangan perjalanan sedang tidur. Perhatikan juga hal-hal yang disukai atau tidak disukai perjalanan kita. Kalau rekan seperjalanan anda tidak suka ada buah pepaya, bahkan lari tunggang langgang bila melihatnya, maka makanlah buah pepaya di belakang dia. Tidak perlu juga ikutan membenci pepaya.

Pun dalam rumah tangga, kadang kita begitu memaksakan pasangan untuk mencapai satu titik tertentu, padahal dia sedang begitu lelah dan perlu berhenti sejenak. Berikan ruang untuk dia dengan dirinya tanpa mendengar sindiran atau omelan kita.

5.     Saat Semua Berantakan, Cari Hal-Hal yang Membuat Tertawa

Oke, kadang perjalanan bisa begitu berat. Pindah-pindah pesawat yang gak dapet makanan, pun waktu transit begitu dekat hingga tak sempat makan. Mata ngantuk karena bangun subuh-subuh ke Bandara dan berbagai hal yang rasanya kayak pengen nampol-nampolin semua orang. Saat seperti ini yang kita punya adalah pasangan kita. Carilah obrolan-obrolan keseharian yang bisa bikin kita tertawa dan lupa kalau lagi laper.  Okeh dalam rumah tangga persoalan lebih berat dari sekedar ngantuk dan laper, mungkin ini memutuskan banyak syaraf tertawa dalam hidup. Tapi syaraf tertawa kita masih ada, orang yang kita pilih mendampingi dalam hidup  pasti dari awal adalah orang yang bisa menyambungkan syaraf ini jika terputus. Hanya butuh sedikit sentuhan, klik syaraf ini nyambung lagi.


Ya gitu deh, hasil kontemplasi perjalanan panjang satu bulan kemarin. Okeh, selamat mencari rekan seperjalanan. Atau kalau gak ada yang asik, jalan sendiri juga gak apa-apa:)

Comments

Popular posts from this blog

Et cetera

Banyak hal yang harusnya bisa saya tulis dalam beberapa minggu terakhir ini. Saya berpindah ke lebih dari empat kota dalam sebulan ini, dari Lombok saya ke Bau-bau, lalu berdiam sejenal di Makasar, Jakarta, Bali lalu ke Jakarta kembali. Lelah sudah pasti, kangen suami, apalagi. Dari perjalanan ke berbagai kota itu saya bertemu banyak orang (sebagian besar adalah mereka yang tergabung dalam sebuah organisasi masyarakat sipil) dan mendaapatkan banyak sekali pengetahuan baru tentang dunia OMS ini. Bukan barang baru memang karena saya sudah terlibat di dalamnya selama kurang lebih sepuluh tahun, namun posisi saya di dalam kegiatan itu yang membuatnya berbeda. Saya harus melakukan pemeriksaan terhadap empat organisasi di sultra terkait beberapa aspek, visi dan kepemimpinan, kesolid an tim, budaya organisasi dan knowledge management. Secara umum organisasi ini punya dua problem utama yaitu soal visi dan kepemimpinan yang lemah dan kedua soal knowledge management yang kacau. Lemahnya lea...

22 Februari 2013

Saya bahkan tak sempat berpikir atau berefleksi tentang ulang tahun saya. Minggu ini pekerjaan terasa begitu menggila. Pikiran saya tersita antara word, excel, keynote, email, proposal, laporan penelitian,   TOR, undangan, hotel kaos peserta, tas peserta, modul, dan tentu saja account bank kantor. Semua menarik-narik saya minta dijadikan prioritas. Saya tenggelam. Tapi saya percaya hidup tak akan membiarkan saya terus tenggelam. Saya jalani saja sambil terus berupaya menghidupkan binar mata, menegakan tubuh yang sudah lunglai dan mengembangkan sisa senyum. Pasti akan berakhir juga. Seorang teman terbaik memberikan sepanjang malam nya menemani saya melewati detik-detik ulang tahun saya. Sekumpulan batu yang lama telah ia kumpulkan   dari berbagai pantai di Indonesia ia berikan sebagai kado. Obrolan panjang kami malam itu, membuat saya lompat dari kubangan yang menenggelamkan. Ia memang selalu hadir, di saat seperti ini. Tanpa saya minta. Pagi hari...

Lalu Harus Menyerah Karena Apa?

Pantaskah saya menyerah? Menyerah karena apa? Pagi ini saya masih bisa minum kopi. Membaca beberapa cerita pendek dari pengarang-pengarang yang luar biasa. Lalu saya juga masih bisa berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Ya, memang kadang saya harus memakan waktu lebih lama. Tapi, tidak pernah lebih dari 2 atau 3 jam saja. Tidak seperti ibu di Kulisusu sana yang butuh 12 jam berjalan kaki untuk keluar dari desanya. Tidak sama sekali. Siang ini sayapun masih bisa makan siang dan berbincang seru dengan teman-teman saya. Bukan perbincangan gosip kacangan, tapi perbincangan seru tentang kebodohan masing-masing. Sambil tertawa-tawa menertawakan diri sendiri. Lalu, mau menyerah karena apa? Ya tiap hari saya memang berhadapan dengan orang-orang yang sulit, tak kompeten, manja, sok tau atau keras kepala. Ya, lalu kenapa? Mama-mama di desa sana, berhadapan dengan sistem yang melarang perempuan berbicara, dan mereka bisa. Lalu, saya harus menyerah karena apa...