Skip to main content

Sore Berbincang Asa


Bertahun  lamanya kami tak bertemu, cukup lama hingga kami tak bisa lagi mengingat kapan terakhir. Tubuhnya masih seperti dulu, tinggi tegap dengan rambut cepak macam pemain basket. Tawanya selalu meledak saat kami menyusuri kembali masa-masa jenaka kami dulu.  Matanya yang tak terlalu besar dan nyaris hilang bila tertawa menyelidik dalam ke pada mataku. Entah apa yang ia cari.

Panjang ia bercerita tentang getir hidupnya menjadi guru anak-anak autis. Tentang mimpinya mempunyai sekolah gratis untukanak autis ya g tak berpunya. Tentang petualangannya dari satu negara ke negara lain, dari satu orang tua ke orang tua lain dari satu sistem pendidikan ke sistem pendidikan lain. Aku hanya bisa diam memandang penuh kekaguman tentang betapa hebatnya ia. Bertahan dengan segala cita-cita dan keterbatasan.

Ia meneruskan ceritanya sambil menghabiskan secangkir kecil espresso dan berbatang rokonya. Aku masih setia menunggunya selesai bercerita. Mungkin aku hanya orang yang saat itu tersedia untuknya bercerita.  Yang dengan sebisa mungkin terus membantu menghidupkan asa nya. Aku tak bisa menawarkan apapun padanya, sebatas pelukan hangat supaya ia tetap semangat. Aku ingin kau tetap bertahan kawan. Walau aku tak tahu bisa membantu apa. 

Comments

Popular posts from this blog

Et cetera

Banyak hal yang harusnya bisa saya tulis dalam beberapa minggu terakhir ini. Saya berpindah ke lebih dari empat kota dalam sebulan ini, dari Lombok saya ke Bau-bau, lalu berdiam sejenal di Makasar, Jakarta, Bali lalu ke Jakarta kembali. Lelah sudah pasti, kangen suami, apalagi. Dari perjalanan ke berbagai kota itu saya bertemu banyak orang (sebagian besar adalah mereka yang tergabung dalam sebuah organisasi masyarakat sipil) dan mendaapatkan banyak sekali pengetahuan baru tentang dunia OMS ini. Bukan barang baru memang karena saya sudah terlibat di dalamnya selama kurang lebih sepuluh tahun, namun posisi saya di dalam kegiatan itu yang membuatnya berbeda. Saya harus melakukan pemeriksaan terhadap empat organisasi di sultra terkait beberapa aspek, visi dan kepemimpinan, kesolid an tim, budaya organisasi dan knowledge management. Secara umum organisasi ini punya dua problem utama yaitu soal visi dan kepemimpinan yang lemah dan kedua soal knowledge management yang kacau. Lemahnya lea

22 Februari 2013

Saya bahkan tak sempat berpikir atau berefleksi tentang ulang tahun saya. Minggu ini pekerjaan terasa begitu menggila. Pikiran saya tersita antara word, excel, keynote, email, proposal, laporan penelitian,   TOR, undangan, hotel kaos peserta, tas peserta, modul, dan tentu saja account bank kantor. Semua menarik-narik saya minta dijadikan prioritas. Saya tenggelam. Tapi saya percaya hidup tak akan membiarkan saya terus tenggelam. Saya jalani saja sambil terus berupaya menghidupkan binar mata, menegakan tubuh yang sudah lunglai dan mengembangkan sisa senyum. Pasti akan berakhir juga. Seorang teman terbaik memberikan sepanjang malam nya menemani saya melewati detik-detik ulang tahun saya. Sekumpulan batu yang lama telah ia kumpulkan   dari berbagai pantai di Indonesia ia berikan sebagai kado. Obrolan panjang kami malam itu, membuat saya lompat dari kubangan yang menenggelamkan. Ia memang selalu hadir, di saat seperti ini. Tanpa saya minta. Pagi hari, teman t

Paris I Love u

Saya penikmat film-film drama romantis, walaupun kata orang film-film macam itu “kacangan”. Ah, tapi saya tidak terlalu peduli dengan kata orang. Saya menonton dan membaca yang saya suka.   Ada satu hal yang saya nikmati dengan film-film drama romantis, mereka menampilkan tempat-tempat yang memang ingin saya datangi. Danau yang indah, city light, jalan-jalan romantis, café yang nyaman, kopi yang enak. Minggu ini saya menonton lebih dari lima film dengan setting kota Paris. Ya, saya memang selalu terobsesi dengan Paris, kota yang harus saya datangi sebelum saya mati.   Para pembuat film ini sungguh membuat saya menjadi terengah-engah untuk segera mewujudkan mimpi saya. Saya seperti ingin segera berada di sana. Mungkin sekali sebagian besar yang ditampilkan di film-film itu adalah fantasi, tapi saya tetap ingin ke sana. Saya benci dengan kenyataan bahwa film-film Indonesia tidak bisa membuat saya melihat kota-kota di Indonesia dengan cara yang sama.   Jakarta misalnya