Bertahun lamanya kami
tak bertemu, cukup lama hingga kami tak bisa lagi mengingat kapan terakhir.
Tubuhnya masih seperti dulu, tinggi tegap dengan rambut cepak macam pemain
basket. Tawanya selalu meledak saat kami menyusuri kembali masa-masa jenaka
kami dulu. Matanya yang tak terlalu
besar dan nyaris hilang bila tertawa menyelidik dalam ke pada mataku. Entah apa
yang ia cari.
Panjang ia bercerita tentang getir hidupnya menjadi guru
anak-anak autis. Tentang mimpinya mempunyai sekolah gratis untukanak autis ya g tak berpunya. Tentang petualangannya dari satu negara ke
negara lain, dari satu orang tua ke orang tua lain dari satu sistem pendidikan
ke sistem pendidikan lain. Aku hanya bisa diam memandang penuh kekaguman tentang betapa hebatnya
ia. Bertahan dengan segala cita-cita dan keterbatasan.
Ia meneruskan ceritanya sambil menghabiskan secangkir kecil
espresso dan berbatang rokonya. Aku masih setia menunggunya selesai bercerita.
Mungkin aku hanya orang yang saat itu tersedia untuknya bercerita. Yang dengan sebisa mungkin terus membantu
menghidupkan asa nya. Aku tak bisa menawarkan apapun padanya, sebatas pelukan hangat supaya ia tetap semangat. Aku ingin kau tetap bertahan kawan. Walau aku tak tahu bisa
membantu apa.
Comments