Dia menghitung menit dan detik yang lalu lalang
dihadapannya. Langkah mereka lambat,
nyaris terseok seok. Melirik ke dia yang dengan senyum manis menawarkan duka
yang hampir mengering terkena matahari. Rasanya sudah seumur hidupnya ia
menawarkan sang duka pada kala. Ia
menyimpan sejuta harapan suatu saat sang detik, menit atau jam berhenti dan
membelinya. Tapi hari ini , seperti tahun-tahun yang sudah, waktu masih belum
ingin mengambil duka. Ia melipat kembali duka dagangannya, melipatnya dan
memanggul dipundaknya. Ah, mungkin belum waktunya, ia berkata dalam hati. Duka
ini masih ingin menemaninya. Senyumnya
sudah tak semanis dulu lagi.
Saya bahkan tak sempat berpikir atau berefleksi tentang ulang tahun saya. Minggu ini pekerjaan terasa begitu menggila. Pikiran saya tersita antara word, excel, keynote, email, proposal, laporan penelitian, TOR, undangan, hotel kaos peserta, tas peserta, modul, dan tentu saja account bank kantor. Semua menarik-narik saya minta dijadikan prioritas. Saya tenggelam. Tapi saya percaya hidup tak akan membiarkan saya terus tenggelam. Saya jalani saja sambil terus berupaya menghidupkan binar mata, menegakan tubuh yang sudah lunglai dan mengembangkan sisa senyum. Pasti akan berakhir juga. Seorang teman terbaik memberikan sepanjang malam nya menemani saya melewati detik-detik ulang tahun saya. Sekumpulan batu yang lama telah ia kumpulkan dari berbagai pantai di Indonesia ia berikan sebagai kado. Obrolan panjang kami malam itu, membuat saya lompat dari kubangan yang menenggelamkan. Ia memang selalu hadir, di saat seperti ini. Tanpa saya minta. Pagi hari...
Comments