Dia menghitung menit dan detik yang lalu lalang
dihadapannya. Langkah mereka lambat,
nyaris terseok seok. Melirik ke dia yang dengan senyum manis menawarkan duka
yang hampir mengering terkena matahari. Rasanya sudah seumur hidupnya ia
menawarkan sang duka pada kala. Ia
menyimpan sejuta harapan suatu saat sang detik, menit atau jam berhenti dan
membelinya. Tapi hari ini , seperti tahun-tahun yang sudah, waktu masih belum
ingin mengambil duka. Ia melipat kembali duka dagangannya, melipatnya dan
memanggul dipundaknya. Ah, mungkin belum waktunya, ia berkata dalam hati. Duka
ini masih ingin menemaninya. Senyumnya
sudah tak semanis dulu lagi.
Perempuan itu tersenyum manis menatap kanvas lukisnya. Malam ini dia akan membuatkan lukisan malam terindah untuk laki-laki yang dicintainya. Matanya terpejam saat kuas-kuas nya mulai menggoreskan sketsa malamnya, mulutnya tak henti mengeluarkan kata, seolah ia tengah berbincang dengan seseorang. “Selesai sudah”. Ia tersenyum lebar, ia bayangkan wajah gembira kekasihnya menerima lukisan itu. “Kasih, aku buatkan lukisan malam untuk mu” “Aku tak sabar melihatnya” Perempuan itu mengeluarkan lukisannya, meletakan tepat dihadapan kekasihnya. Sebuah pemandangan malam yang sempurna. Sebagian besar didominasi hitam keemasan yang ditimbulkan dari refleksi purnama. Bintang besar kecil berserakan di langit menempati posisi nya masing-masing. Purnama itu, ya purnama itu adalah purnama paling sempurna dari semua yang pernah ada. Lukisan itu pun mengeluarkan suara, ada jengkerik, lolongan anjing, gesekan daun. Musik alam yang menghadirkan suasana antara ad...
Comments