Skip to main content

Manja


Seorang berkata  pada saya, saya adalah tipe perempuan yang kuat dan mandiri. Anehnya, saya tidak merasa demikian. Ok, dalam soal pekerjaan dan pertemanan mungkin betul. Saya  orang yang tak menolak disuruh pergi kemanapun dan tipe pekerjaan seperti apapun. Saya berani bepergian sendiri ke tempat yang terpencil dan baru sekali itu saya kunjungi.
Sayapun tidak takut pulang larut malam dengan transportasi publik. Saya tidak takut setan dan berani di kamar hotel sendirian, berjalan-jalan dan makan sendirian.  Saya tidak mau bergantung atau menyusahkan orang lain. Tapi, semua itu saya lakukan dengan catatan, tidak ada suami saya.

Situasinya menjadi kebalik total saat suami ada di samping saya.  Saya manja luar biasa, sampai taraf yang tidak akan pernah terbayangkan oleh orang-orang sekeliling saya. Saya bisa ngambek makan sampai dia menyuapi saya.  Saya tidak mandi sampai dia membangunkan dan menggendong saya. Saya bisa mematung tak berbicara, sampai dia mengarang ngarang joke-joke, memasang muka lucu, atau menggelitiki saya sampai saya gak tahan lagi untuk tertawa dan berhenti ngambek. Saya menggelendot pada dia sepanjang waktu.  Hanya bersama dia juga saya bisa menangis tanpa malu dan dibilang lemah.


Jadi kenapa saya seperti  dua pribadi yang sangat berbeda? Saya mandiri dan kuat di ranah publik, tapi manja tiada tara pada ranah privat saya dengan suami. Kesimpulan saya sementara, mungkin hanya bersama dia sebetulnya saya merasa nyaman, percaya dan terlindungi.  Pada yang lain, saya masih hati-hati sehingga saya perlu untuk melindungi diri saya sendiri. Sistem pertahanan diri saya memaksa saya untuk menjadi kuat saat saya sendirian. Tapi begitu merasa ada yang melindungi, saya bisa dengan lega bersandar dan meletakan perisai saya.  Sepertinya begitu. 

Comments

Popular posts from this blog

Et cetera

Banyak hal yang harusnya bisa saya tulis dalam beberapa minggu terakhir ini. Saya berpindah ke lebih dari empat kota dalam sebulan ini, dari Lombok saya ke Bau-bau, lalu berdiam sejenal di Makasar, Jakarta, Bali lalu ke Jakarta kembali. Lelah sudah pasti, kangen suami, apalagi. Dari perjalanan ke berbagai kota itu saya bertemu banyak orang (sebagian besar adalah mereka yang tergabung dalam sebuah organisasi masyarakat sipil) dan mendaapatkan banyak sekali pengetahuan baru tentang dunia OMS ini. Bukan barang baru memang karena saya sudah terlibat di dalamnya selama kurang lebih sepuluh tahun, namun posisi saya di dalam kegiatan itu yang membuatnya berbeda. Saya harus melakukan pemeriksaan terhadap empat organisasi di sultra terkait beberapa aspek, visi dan kepemimpinan, kesolid an tim, budaya organisasi dan knowledge management. Secara umum organisasi ini punya dua problem utama yaitu soal visi dan kepemimpinan yang lemah dan kedua soal knowledge management yang kacau. Lemahnya lea

22 Februari 2013

Saya bahkan tak sempat berpikir atau berefleksi tentang ulang tahun saya. Minggu ini pekerjaan terasa begitu menggila. Pikiran saya tersita antara word, excel, keynote, email, proposal, laporan penelitian,   TOR, undangan, hotel kaos peserta, tas peserta, modul, dan tentu saja account bank kantor. Semua menarik-narik saya minta dijadikan prioritas. Saya tenggelam. Tapi saya percaya hidup tak akan membiarkan saya terus tenggelam. Saya jalani saja sambil terus berupaya menghidupkan binar mata, menegakan tubuh yang sudah lunglai dan mengembangkan sisa senyum. Pasti akan berakhir juga. Seorang teman terbaik memberikan sepanjang malam nya menemani saya melewati detik-detik ulang tahun saya. Sekumpulan batu yang lama telah ia kumpulkan   dari berbagai pantai di Indonesia ia berikan sebagai kado. Obrolan panjang kami malam itu, membuat saya lompat dari kubangan yang menenggelamkan. Ia memang selalu hadir, di saat seperti ini. Tanpa saya minta. Pagi hari, teman t

Paris I Love u

Saya penikmat film-film drama romantis, walaupun kata orang film-film macam itu “kacangan”. Ah, tapi saya tidak terlalu peduli dengan kata orang. Saya menonton dan membaca yang saya suka.   Ada satu hal yang saya nikmati dengan film-film drama romantis, mereka menampilkan tempat-tempat yang memang ingin saya datangi. Danau yang indah, city light, jalan-jalan romantis, café yang nyaman, kopi yang enak. Minggu ini saya menonton lebih dari lima film dengan setting kota Paris. Ya, saya memang selalu terobsesi dengan Paris, kota yang harus saya datangi sebelum saya mati.   Para pembuat film ini sungguh membuat saya menjadi terengah-engah untuk segera mewujudkan mimpi saya. Saya seperti ingin segera berada di sana. Mungkin sekali sebagian besar yang ditampilkan di film-film itu adalah fantasi, tapi saya tetap ingin ke sana. Saya benci dengan kenyataan bahwa film-film Indonesia tidak bisa membuat saya melihat kota-kota di Indonesia dengan cara yang sama.   Jakarta misalnya