Skip to main content

Beri Saja Waktuku


Mungkin semakin lama saya semakin egois. Saya marah pada diri saya sendiri karena rencana saya begitu kacau balau karena adik saya sakit. Saya memang tidak bisa mengharapkan orang lain selain diri saya sendiri untuk mengurus dia. Siapa lagi?  Rencana kepergian ke Sulsel menjadi batal dan saya tetap tidak bisa hadir menemani suami saya di acara kantornya. Tadinya saya korbankan acara itu karena Sulsel. Ya, itupun dengan alasan yang sama, siapa lagi kalau bukan saya?  Untung saja orang Sulsel mau mengundurkan jadual sehingga pa Gir dan FNS bisa pergi. Dengan jadual yang berubah saya tidak mungkin pergi ke Sulsel, karena perlu ada SP yayasan. Saya lelah sekali harus membagi diri saya dengan keluarga di ragunan, suami saya di Sumbawa dan pekerjaan. 

Walhasil liburan ini, saya betul-betul tidak mau diganggu dengan urusan apapun. Saya ingin diri saya sendiri, tanpa harus ada tanggung jawab apapun, menikmati waktu saya kemanapun dengan siapapun. Apa mau di kata, lama hidup sendiri, membuat saya terbiasa bebas menentukan jadual saya sendiri. Tidak perlu menentukan pulang jam berapa, bangun jam berapa atau bahkan tidak pulang sekalipun, tidak ada yang menanyakan saya. Jadi, terikat  dan bertanggung jawab terhadap sesuatu kadang sangat mengerikan buat saya. Tidak selalu. Tapi sering.

Saya memang marah pada diri saya sendiri, karena tidak bisa melepaskan diri dari semuanya.   

Comments

Popular posts from this blog

Et cetera

Banyak hal yang harusnya bisa saya tulis dalam beberapa minggu terakhir ini. Saya berpindah ke lebih dari empat kota dalam sebulan ini, dari Lombok saya ke Bau-bau, lalu berdiam sejenal di Makasar, Jakarta, Bali lalu ke Jakarta kembali. Lelah sudah pasti, kangen suami, apalagi. Dari perjalanan ke berbagai kota itu saya bertemu banyak orang (sebagian besar adalah mereka yang tergabung dalam sebuah organisasi masyarakat sipil) dan mendaapatkan banyak sekali pengetahuan baru tentang dunia OMS ini. Bukan barang baru memang karena saya sudah terlibat di dalamnya selama kurang lebih sepuluh tahun, namun posisi saya di dalam kegiatan itu yang membuatnya berbeda. Saya harus melakukan pemeriksaan terhadap empat organisasi di sultra terkait beberapa aspek, visi dan kepemimpinan, kesolid an tim, budaya organisasi dan knowledge management. Secara umum organisasi ini punya dua problem utama yaitu soal visi dan kepemimpinan yang lemah dan kedua soal knowledge management yang kacau. Lemahnya lea

22 Februari 2013

Saya bahkan tak sempat berpikir atau berefleksi tentang ulang tahun saya. Minggu ini pekerjaan terasa begitu menggila. Pikiran saya tersita antara word, excel, keynote, email, proposal, laporan penelitian,   TOR, undangan, hotel kaos peserta, tas peserta, modul, dan tentu saja account bank kantor. Semua menarik-narik saya minta dijadikan prioritas. Saya tenggelam. Tapi saya percaya hidup tak akan membiarkan saya terus tenggelam. Saya jalani saja sambil terus berupaya menghidupkan binar mata, menegakan tubuh yang sudah lunglai dan mengembangkan sisa senyum. Pasti akan berakhir juga. Seorang teman terbaik memberikan sepanjang malam nya menemani saya melewati detik-detik ulang tahun saya. Sekumpulan batu yang lama telah ia kumpulkan   dari berbagai pantai di Indonesia ia berikan sebagai kado. Obrolan panjang kami malam itu, membuat saya lompat dari kubangan yang menenggelamkan. Ia memang selalu hadir, di saat seperti ini. Tanpa saya minta. Pagi hari, teman t

Paris I Love u

Saya penikmat film-film drama romantis, walaupun kata orang film-film macam itu “kacangan”. Ah, tapi saya tidak terlalu peduli dengan kata orang. Saya menonton dan membaca yang saya suka.   Ada satu hal yang saya nikmati dengan film-film drama romantis, mereka menampilkan tempat-tempat yang memang ingin saya datangi. Danau yang indah, city light, jalan-jalan romantis, café yang nyaman, kopi yang enak. Minggu ini saya menonton lebih dari lima film dengan setting kota Paris. Ya, saya memang selalu terobsesi dengan Paris, kota yang harus saya datangi sebelum saya mati.   Para pembuat film ini sungguh membuat saya menjadi terengah-engah untuk segera mewujudkan mimpi saya. Saya seperti ingin segera berada di sana. Mungkin sekali sebagian besar yang ditampilkan di film-film itu adalah fantasi, tapi saya tetap ingin ke sana. Saya benci dengan kenyataan bahwa film-film Indonesia tidak bisa membuat saya melihat kota-kota di Indonesia dengan cara yang sama.   Jakarta misalnya