Skip to main content

Kopi atau Teh

Mereka yang sering bepergian ke pelosok Indonesia mungkin sudah sangat mahfum dengan situasi ini. Saat kita bertamu ke rumah seseorang atau ke suatu organisasi tanpa menanyakan keinginan kita, secara otomatis untuk perempuan akan disediakan teh dan kopi untuk laki-laki. Entah sudah berapa lama kebiasaan itu muncul, apakah berdasarkan suatu kebiasaan yang berlaku atau sebetulnya ada nilai tertentu yang melekat saya selalu lupa menanyakannya. Untuk kunjungan keluarga saya dan suami seringkali bertukar minuman yang disuguhkan, karena saya suka kopi dan suami saya tidak begitu suka. Atau kalau dia juga ingin kopi, biasanya kami meminta supaya dibuatkan kopi juga untuk saya. Tentu saja ini kalau bertamu ke rumah orang yang lumayan dekat. Yang menyebalkan adalah saat kita hadir dalam suatu pertemuan yang resmi dan jumlah pembuatan minuman sudah disesuaikan dengan perbandingan laki-laki dan perempuan. Ini saya temui di Lombok saat pertemuan dengan masyarakat adat atau dengan organisasi-organisasi yang saya temui di daerah. Kadang saya cuek saja menukar teh saya dengan kopi, atau meminta orang yang menyajikan untuk menukar dengan kopi. Apalagi kalau pertemuan yang akan saya ikuti sudah pasti akan memancing kantuk saya. Kadang mereka kaget, kenapa perempuan minum kopi apalagi kopi di daerah-daerah biasanya hitam dan kental. Saya lalu menjelaskan bahwa hampir semua perempuan di kantor saya juga minum kopi dan di Jakarta itu adalah hal yang biasa saja. Bahkan kopi baik untuk menghindarkan perempuan dari daarah tinggi, stroke dan kepikunan. Tentu saja kalau dikonsumsi secara proposional.

Saya sebetulnya curiga bahwa disamping kebiasaan memang ada pandangan tertentu yang dilekatkan kepada perempuan yang minum kopi. Atau sebetulnya itu adalah cara laki-laki untuk membuat perempuan tidak bisa mengikuti kegiatan-kegiatan di malam hari. Karena kopi sebelum menjadi gaya hidup memang identik dengan dengan dunia pergerakan, politik, atau bahkan dunia kerja, yang dulu seolah menjadi monopoli kaum lelaki. Entahlah dugaan saya betul atau tidak, tapi sekarang saya lebih siap jika menghadapi situasi ini, saya menyebutkan terlebih dahulu bahwa saya pilik kopi, bukan teh.

Comments

Popular posts from this blog

Sketsa Malam

Perempuan itu tersenyum manis menatap kanvas lukisnya. Malam ini dia akan membuatkan lukisan malam terindah untuk laki-laki yang dicintainya. Matanya terpejam saat kuas-kuas nya mulai menggoreskan sketsa malamnya, mulutnya tak henti mengeluarkan kata, seolah ia tengah berbincang dengan seseorang. “Selesai sudah”. Ia tersenyum lebar, ia bayangkan wajah gembira kekasihnya menerima lukisan itu. “Kasih, aku buatkan lukisan malam untuk mu” “Aku tak sabar melihatnya” Perempuan itu mengeluarkan lukisannya, meletakan tepat dihadapan kekasihnya. Sebuah pemandangan malam yang   sempurna.   Sebagian besar didominasi hitam keemasan yang ditimbulkan dari refleksi purnama. Bintang besar kecil berserakan di langit menempati posisi nya masing-masing. Purnama itu, ya purnama itu adalah purnama paling sempurna dari semua yang pernah ada. Lukisan itu pun mengeluarkan suara, ada jengkerik, lolongan anjing, gesekan daun.   Musik alam yang menghadirkan suasana antara ad...

Intersection

Saya tidak mengerti, mengapa kamu harus menyembunyikannya. Tahukah kamu, bahwa dari semua tutur kata dan tatapan matamu, aku tahu kamu menyukai dia. Kamu menceritakan dia berulang-ulang seolah dia adalah sumber inspirasi yang tak kunjung habis. Dia selalu mewarnai hari-harimu. Tak pernah satu haripun terlewat tanpa nama nya kau sebutkan. Yaa, memang terkadang kamu menceritakan tentang istrinya, tentang rekan kerjanya atau tentang kejadian-kejadian tidak penting. Tapi bukan kejadian itu yang ingin kau ceritakan. Kau hanya ingin menceritakan dia. Mungkin jiwamu sedang bergejolak. Ada rasa berdosa menyelinap dalam relung-relung dadamu. Tapi juga ada perasaan indah tak tertahan yang menyemburkan jutaan kegairahan hidup. Lalu tiba-tiba kerinduan menyeruak dalam lautan kegalauan yang sedang kau sebrangi, membuat langkahmu berhenti. Dan berhenti. Di titik ini, kau tidak tahu lagi harus bagaimana. Kenapa cinta ini tak lagi semudah masa SMA.. (Kau tercenung sambil memandangi bayimu yang sedan...

22 Februari 2013

Saya bahkan tak sempat berpikir atau berefleksi tentang ulang tahun saya. Minggu ini pekerjaan terasa begitu menggila. Pikiran saya tersita antara word, excel, keynote, email, proposal, laporan penelitian,   TOR, undangan, hotel kaos peserta, tas peserta, modul, dan tentu saja account bank kantor. Semua menarik-narik saya minta dijadikan prioritas. Saya tenggelam. Tapi saya percaya hidup tak akan membiarkan saya terus tenggelam. Saya jalani saja sambil terus berupaya menghidupkan binar mata, menegakan tubuh yang sudah lunglai dan mengembangkan sisa senyum. Pasti akan berakhir juga. Seorang teman terbaik memberikan sepanjang malam nya menemani saya melewati detik-detik ulang tahun saya. Sekumpulan batu yang lama telah ia kumpulkan   dari berbagai pantai di Indonesia ia berikan sebagai kado. Obrolan panjang kami malam itu, membuat saya lompat dari kubangan yang menenggelamkan. Ia memang selalu hadir, di saat seperti ini. Tanpa saya minta. Pagi hari...