Skip to main content

Et cetera

Banyak hal yang harusnya bisa saya tulis dalam beberapa minggu terakhir ini. Saya berpindah ke lebih dari empat kota dalam sebulan ini, dari Lombok saya ke Bau-bau, lalu berdiam sejenal di Makasar, Jakarta, Bali lalu ke Jakarta kembali. Lelah sudah pasti, kangen suami, apalagi. Dari perjalanan ke berbagai kota itu saya bertemu banyak orang (sebagian besar adalah mereka yang tergabung dalam sebuah organisasi masyarakat sipil) dan mendaapatkan banyak sekali pengetahuan baru tentang dunia OMS ini. Bukan barang baru memang karena saya sudah terlibat di dalamnya selama kurang lebih sepuluh tahun, namun posisi saya di dalam kegiatan itu yang membuatnya berbeda. Saya harus melakukan pemeriksaan terhadap empat organisasi di sultra terkait beberapa aspek, visi dan kepemimpinan, kesolid an tim, budaya organisasi dan knowledge management. Secara umum organisasi ini punya dua problem utama yaitu soal visi dan kepemimpinan yang lemah dan kedua soal knowledge management yang kacau.


Lemahnya leader dan visi organisasi membuat organisasi-organisasi ini terombang-ambing dalam program-programnya. Di suatu organisasi bahkan ada seorang leader yang tidak punya semangat sama sekali untuk mewujudkan mimpi mereka, padahal tim yang dia miliki sangat luar biasa. Leader yang memiliki visi yang jelas akan dapat menularkan semangatnya ke semua staff dan menunjukan dapat keunggulan-keunggulan yang dimiliki staffnya. Bagaimana mau mempengaruhi warga dan pemerintah kalau loyo dan gak jelas arahnya. Sedangkan soal knowledge management yang buruk tidak terlepas dari seringnya pergantian personel dalam organisasi tanpa ada transfer ke generasi berikutnya. Hasilnya, organisasi ini seperti terus menerus menjadi pemula dan tidak juga mahir dalam bidangnya.


Yang sangat menarik adalah proses workshop pembuatan laporan, dimana seluruh fasilitator berkumpul untuk merumuskan rekomendasi. Sebagai orang yang tidak pernah secara khusus mendalami soal OMS dan perubahan sosial saya hanya berkaca pada pengalaman saya selama di peeshaka, sementara beberapa organisasi lain memang bergelut di isue itu sehingga luar biasa banyak hal yang saya petik. Pendekatan antara mas D dan Mas H misalnya dalam melihat faktor-faktor yang bisa menscaling up sebuah program menjadi sebuah gerakan sangat berbeda. Mas H lebih menggunakan metode lama, dimana dimulai dengan pemberesan dari governace OMS itu. Oleh karena itu soal pertanggungjawaban, relasi pendiri dan pengurus, keuangan dll menjadi faktor penting untuk menjadi organisasi yang berdaya. Sedangkan Mas D, lebih melihat keberhasilan organisasi ditentukan oleh kemampuan organisasi ini untuk mengkomunikasikan visi dan gagasan mereka ke masyarakat. Well saya sendiri menganggap ke dua nya penting, tapi soal prioritasnya yang kemudian perlu di pikirkan.


Hal lain yang juga saya belajar banyak dari proses ini adalah soal cara komunikasi kita dengan orang lain. Kenapa saya tidak suka twitter karena menurut saya komunikasi model ini hanya melibatkan kepala, sementara hati dan kaki tidak terlihat. Dalam melakukan fasilitasi untuk perubahan sosial, kita harus mendengarkan secara lengkap, dengan kepala kita, hati dan kaki. Artinya kita harus melihat juga perjalanan emosi dari setiap individu yang kita fasilitasi bahkan sampai bahasa tubuh dari orang itu, juga menggali hasrat dan kemauan mereka untuk bertindak secara nyata dalam melakukan perubahan sosial.


Pagi ini saat saya hadir dalam metting regular di peeshaka, saya merasa lemas. Yup, teman-teman memang berkumpul di sana. Tapi tidak ada yang mendegarkan dengan hati dan kaki mereka, bahkan hanya sebagian kecil yang mungkin mendegarkan dengan kepala juga. Lainnya, sibuk dengan sms, ym, twitter dan bahkan ada yang tertidur. Mereka ada, tapi tidak hadir. Hanya sebagai ritual dan pencatatan. Tidak ada semangat bersama, tidak ada rasa yang dibangun bahwa kita adalah sekelompok orang yang berkumpul dan ingin mengubah sesuatu. Tidak ada rasa yang satu sangat ingin membantu yang lain karena keyakinan bahwa kita sedang dalam proses menuju sesuatu yang sama-sama kita impikan. Mungkin saya salah karena Cuma mengamati beberapa jenak saja, semoga sebenarnya hal itu sedang tidak terlihat saja.

Comments

Popular posts from this blog

22 Februari 2013

Saya bahkan tak sempat berpikir atau berefleksi tentang ulang tahun saya. Minggu ini pekerjaan terasa begitu menggila. Pikiran saya tersita antara word, excel, keynote, email, proposal, laporan penelitian,   TOR, undangan, hotel kaos peserta, tas peserta, modul, dan tentu saja account bank kantor. Semua menarik-narik saya minta dijadikan prioritas. Saya tenggelam. Tapi saya percaya hidup tak akan membiarkan saya terus tenggelam. Saya jalani saja sambil terus berupaya menghidupkan binar mata, menegakan tubuh yang sudah lunglai dan mengembangkan sisa senyum. Pasti akan berakhir juga. Seorang teman terbaik memberikan sepanjang malam nya menemani saya melewati detik-detik ulang tahun saya. Sekumpulan batu yang lama telah ia kumpulkan   dari berbagai pantai di Indonesia ia berikan sebagai kado. Obrolan panjang kami malam itu, membuat saya lompat dari kubangan yang menenggelamkan. Ia memang selalu hadir, di saat seperti ini. Tanpa saya minta. Pagi hari, teman t

Paris I Love u

Saya penikmat film-film drama romantis, walaupun kata orang film-film macam itu “kacangan”. Ah, tapi saya tidak terlalu peduli dengan kata orang. Saya menonton dan membaca yang saya suka.   Ada satu hal yang saya nikmati dengan film-film drama romantis, mereka menampilkan tempat-tempat yang memang ingin saya datangi. Danau yang indah, city light, jalan-jalan romantis, café yang nyaman, kopi yang enak. Minggu ini saya menonton lebih dari lima film dengan setting kota Paris. Ya, saya memang selalu terobsesi dengan Paris, kota yang harus saya datangi sebelum saya mati.   Para pembuat film ini sungguh membuat saya menjadi terengah-engah untuk segera mewujudkan mimpi saya. Saya seperti ingin segera berada di sana. Mungkin sekali sebagian besar yang ditampilkan di film-film itu adalah fantasi, tapi saya tetap ingin ke sana. Saya benci dengan kenyataan bahwa film-film Indonesia tidak bisa membuat saya melihat kota-kota di Indonesia dengan cara yang sama.   Jakarta misalnya