Skip to main content

2017

Saat membuka blog, saya baru sadar bahwa sudah satu tahun saya tidak pernah mengisi blog ini.  Terlalu sibuk bikin puisi di media sosial sepertinya, sampai blog ini tak terawat lagi. 

 

Cukup sulit untuk saya meringkas perasaan untuk merefleksikan tahun 2017.  Mudah atau sulit, sedih atau gembira, membosankan atau menggairahkan? Saya tidak bisa menemukan kata-kata yang bisa mewakilinya.

 

Secara emosional saya terpuruk cukup dalam pada tahun ini. Penyebabnya sangat banyak dan beragam tipenya. Kakak saya masuk rumah sakit dalam kondisi yang dapat dikatakan sangat buruk. Sempat masuk ICU beberapa hari, dan sampai saat inipun belum dapat diajak berkomunikasi.  Saya menangis terus waktu pertama kali mengetahui kakak saya terkena kanker, hanya dalam waktu satu tahun sejak meninggalnya ibu. Ini beban mental yang luar biasa buat saya. Di satu sisi saya harus terus positif dan yakin bahwa kakak saya pasti akan membaik. Tapi di sisi lain, hati saya teriris-iris melihat dia penuh dengan selang dan tubuh dilubangi sana-sini.  Saya masih terus bingung menghadapi kondisi ini.

 

Kedewasaan saya juga luar biasa diuji dalam menghadapi hubungan dengan orang-orang dekat.  Sempat sedikit limbung dan menyalahkan situasi, atau bahkan menyalahkan orang lain. Namun berkali-kali saya harus berterima kasih kepada ibu saya, yang selalu menanamkan nilai kasih sayang kepada manusia. Banyak hal yang Ibu lakukan dulu yang tidak dimengerti jiwa muda saya. Mengapa Ibu selalu membantu orang, mengapa Ibu tidak marah walau dikecewakan. Kini, saya yang dewasa tahu, membalas orang yang kita anggap menyakiti kita mungkin memuaskan. Tapi, memilih untuk memaafkan, menyayangi, dan bahkan terus membantu, adalah pilihan lebih sulit, yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang berjiwa baik.  Atas tauladan Ibu, saya tentu saja pilih yang ke dua.

 

2017 ini juga sedikit mengubah pandangan saya pada beberapa orang. Walaupun hanya mendengar cerita dan tidak mendengar secara langsung, saya cukup kaget orang-orang yang  begitu saya kagumi dan juga sayangi bisa melakukan hal yang menyakiti orang sedemikian parah. Apa yang bisa membuat orang begitu berubah? Saya bingung sekali, sampai berkali-kali mengerutkan dahi. Apakah masih bisa bersikap biasa pada orang-orang ini nanti? Gak tau, saya masih belum selesai dengan ini.

 

 2017 saya juga mengenal banyak teman-teman baru, teman pendakian.  Dua dari tujuh puncak tertinggi di Indonesia berhasil saya daki tahun ini, yaitu Rinjani dan puncak Rante Mario Gunung Latimojong.  Di luar itu saya juga berkesempatan mendaki Gunug Merapi dan Gunung Andong .  Pendakian Latimojong mungkin pendakian yang paling berkesan bagi saya. Saat kita pasrah pada alam, alam memberikan hal-hal terbaiknya yang tak diduga. Tema-teman yang luar bisa baik dan lucu. Mereka datang dari agama, suku, dan usia yang sangat berbeda-beda. Hanya kecintaan pada alam dan gunung  yang menyatukan kita.  Rata-rata mereka tergabung dalam organisasi pecinta alam baik di SMA maupun kuliah. Jam terbang mereka juga sudah luar biasa. Ada yang sudah ke Semeru 22 kali, padahal orang Jakarta. Tapi tidak satupun dari mereka yang sombong atau menganggap lebih kuat dari yang lain. Pokoknya seru bangetlah mereka.

 

Terima kasih 2017,  banyak sekali kebaikan yang kau ajarkan. Terima kasih untuk membuat saya terus percaya kepada manusia, dan percaya kepada kebaikan.  Terima kasih untuk terus memberikan kejutan kebahagiaan di saat dunia rasanya begitu berantakan.

 

Terima kasih 2017, untuk membuat saya terus berjalan seberapapun beban yang ada digendongan.  Mungkin 2018 bebannya akan berkurang, tapi bisa juga tak terasa lagi karena tubuh saya menjadi lebih kuat dan tahan.

 

Hai, 2018, aku tahu kau tak akan selalu bertabur senyuman, tapi  aku juga yakin tidak selalu diwarnai tangisan. Yuk, sama-sama jalan, atau bisa juga joget-jogetan. 

Comments

Popular posts from this blog

Et cetera

Banyak hal yang harusnya bisa saya tulis dalam beberapa minggu terakhir ini. Saya berpindah ke lebih dari empat kota dalam sebulan ini, dari Lombok saya ke Bau-bau, lalu berdiam sejenal di Makasar, Jakarta, Bali lalu ke Jakarta kembali. Lelah sudah pasti, kangen suami, apalagi. Dari perjalanan ke berbagai kota itu saya bertemu banyak orang (sebagian besar adalah mereka yang tergabung dalam sebuah organisasi masyarakat sipil) dan mendaapatkan banyak sekali pengetahuan baru tentang dunia OMS ini. Bukan barang baru memang karena saya sudah terlibat di dalamnya selama kurang lebih sepuluh tahun, namun posisi saya di dalam kegiatan itu yang membuatnya berbeda. Saya harus melakukan pemeriksaan terhadap empat organisasi di sultra terkait beberapa aspek, visi dan kepemimpinan, kesolid an tim, budaya organisasi dan knowledge management. Secara umum organisasi ini punya dua problem utama yaitu soal visi dan kepemimpinan yang lemah dan kedua soal knowledge management yang kacau. Lemahnya lea

22 Februari 2013

Saya bahkan tak sempat berpikir atau berefleksi tentang ulang tahun saya. Minggu ini pekerjaan terasa begitu menggila. Pikiran saya tersita antara word, excel, keynote, email, proposal, laporan penelitian,   TOR, undangan, hotel kaos peserta, tas peserta, modul, dan tentu saja account bank kantor. Semua menarik-narik saya minta dijadikan prioritas. Saya tenggelam. Tapi saya percaya hidup tak akan membiarkan saya terus tenggelam. Saya jalani saja sambil terus berupaya menghidupkan binar mata, menegakan tubuh yang sudah lunglai dan mengembangkan sisa senyum. Pasti akan berakhir juga. Seorang teman terbaik memberikan sepanjang malam nya menemani saya melewati detik-detik ulang tahun saya. Sekumpulan batu yang lama telah ia kumpulkan   dari berbagai pantai di Indonesia ia berikan sebagai kado. Obrolan panjang kami malam itu, membuat saya lompat dari kubangan yang menenggelamkan. Ia memang selalu hadir, di saat seperti ini. Tanpa saya minta. Pagi hari, teman t

Paris I Love u

Saya penikmat film-film drama romantis, walaupun kata orang film-film macam itu “kacangan”. Ah, tapi saya tidak terlalu peduli dengan kata orang. Saya menonton dan membaca yang saya suka.   Ada satu hal yang saya nikmati dengan film-film drama romantis, mereka menampilkan tempat-tempat yang memang ingin saya datangi. Danau yang indah, city light, jalan-jalan romantis, café yang nyaman, kopi yang enak. Minggu ini saya menonton lebih dari lima film dengan setting kota Paris. Ya, saya memang selalu terobsesi dengan Paris, kota yang harus saya datangi sebelum saya mati.   Para pembuat film ini sungguh membuat saya menjadi terengah-engah untuk segera mewujudkan mimpi saya. Saya seperti ingin segera berada di sana. Mungkin sekali sebagian besar yang ditampilkan di film-film itu adalah fantasi, tapi saya tetap ingin ke sana. Saya benci dengan kenyataan bahwa film-film Indonesia tidak bisa membuat saya melihat kota-kota di Indonesia dengan cara yang sama.   Jakarta misalnya