Sebuah telpon di pagi hari menggagetkan saya. Kakak saya,
sambil terisak meminta saya datang ke ragunan. “Ibu kritis”, hanya itu yang ia
ucapkan. Saya dan Ar yang baru saja datang dari Sumbawa bergegas mandi dan
meluncur ke Ragunan. Tiba saya di sana,
saya lihat semua saudara saya sudah berkumpul, menangis tersedu di pinggir sofa
bed tempat Ibuk biasa tidur. Saya
mungkin termasuk anak yang paling tenang menghadapi situasi itu, saya pijat
kaki ibuk, denyut nadinya masih sangat kencang.
Entah firasat dari mana, tapi saya yakin Ibuk masih akan bersama kami.
Kondisi Ibuk memang amat lemah pagi itu. Sebelumnya juga
lemah, tapi pagi itu yang terburuk. Setelah enam bulan mogok makan, dua hari
belakangan Ibuk diare. Seluruh cairan tubuhnya hilang. Seorang ustad dipanggil,
dia minta kami mengikhlaskan ibuk, semua membaca ayat kursi bersama-sama. Saya
bergeming, tak satupun ayat yang keluar dari mulut saya. Saya yakin Ibuk masih akan di sini. Semua anak-anak Ibuk menangis dan bergantian meminta maaf kepada
Ibuk, saya tidak. Saya tetap berusaha memijit dan menyuapi ibu dengan air dan
bubur. Hati saya berkeras, tidak, saya
tidak akan menyerah.
Sore, Ibuk kami bawa paksa ke rumah sakit. Dehidrasi berat. Setelah diinfus dan suntikan
antibiotik Ibuk mulai membaik. Malam dia bahkan sudah bisa bercakap lagi dengan
kami. Hari itu berhasil kami lalui. Kami
berenam kakak beradi beserta pasangan masing-masing, cucu-cucu, serta Bapak menghela syukur tak terhingga.
Ibuk sudah berhasil melewati masa kritisnya.
Pulihlah Ibuk. Lawanlah sakitmu. We never give up on you Mom, so please
don’t give up.
Comments