Skip to main content

Ibuk


Sebuah telpon di pagi hari menggagetkan saya. Kakak saya, sambil terisak meminta saya datang ke ragunan. “Ibu kritis”, hanya itu yang ia ucapkan. Saya dan Ar yang baru saja datang dari Sumbawa bergegas mandi dan meluncur ke Ragunan.  Tiba saya di sana, saya lihat semua saudara saya sudah berkumpul, menangis tersedu di pinggir sofa bed tempat Ibuk biasa tidur.  Saya mungkin termasuk anak yang paling tenang menghadapi situasi itu, saya pijat kaki ibuk, denyut nadinya masih sangat kencang.  Entah firasat dari mana, tapi saya yakin Ibuk  masih akan bersama kami.

Kondisi Ibuk memang amat lemah pagi itu. Sebelumnya juga lemah, tapi pagi itu yang terburuk. Setelah enam bulan mogok makan, dua hari belakangan Ibuk diare. Seluruh cairan tubuhnya hilang. Seorang ustad dipanggil, dia minta kami mengikhlaskan ibuk, semua membaca ayat kursi bersama-sama. Saya bergeming, tak satupun ayat yang keluar dari mulut saya. Saya yakin Ibuk  masih akan di sini. Semua anak-anak Ibuk  menangis dan bergantian meminta maaf kepada Ibuk, saya tidak. Saya tetap berusaha memijit dan menyuapi ibu dengan air dan bubur.  Hati saya berkeras, tidak, saya tidak akan menyerah.

Sore, Ibuk kami bawa paksa ke rumah sakit.  Dehidrasi berat. Setelah diinfus dan suntikan antibiotik Ibuk mulai membaik. Malam dia bahkan sudah bisa bercakap lagi dengan kami.  Hari itu berhasil kami lalui. Kami berenam kakak beradi beserta pasangan masing-masing, cucu-cucu,  serta Bapak menghela syukur tak terhingga. Ibuk sudah berhasil melewati masa kritisnya.  Pulihlah Ibuk. Lawanlah sakitmu. We never give up on you Mom, so please don’t give up. 

Comments

Popular posts from this blog

Sketsa Malam

Perempuan itu tersenyum manis menatap kanvas lukisnya. Malam ini dia akan membuatkan lukisan malam terindah untuk laki-laki yang dicintainya. Matanya terpejam saat kuas-kuas nya mulai menggoreskan sketsa malamnya, mulutnya tak henti mengeluarkan kata, seolah ia tengah berbincang dengan seseorang. “Selesai sudah”. Ia tersenyum lebar, ia bayangkan wajah gembira kekasihnya menerima lukisan itu. “Kasih, aku buatkan lukisan malam untuk mu” “Aku tak sabar melihatnya” Perempuan itu mengeluarkan lukisannya, meletakan tepat dihadapan kekasihnya. Sebuah pemandangan malam yang   sempurna.   Sebagian besar didominasi hitam keemasan yang ditimbulkan dari refleksi purnama. Bintang besar kecil berserakan di langit menempati posisi nya masing-masing. Purnama itu, ya purnama itu adalah purnama paling sempurna dari semua yang pernah ada. Lukisan itu pun mengeluarkan suara, ada jengkerik, lolongan anjing, gesekan daun.   Musik alam yang menghadirkan suasana antara ad...

Intersection

Saya tidak mengerti, mengapa kamu harus menyembunyikannya. Tahukah kamu, bahwa dari semua tutur kata dan tatapan matamu, aku tahu kamu menyukai dia. Kamu menceritakan dia berulang-ulang seolah dia adalah sumber inspirasi yang tak kunjung habis. Dia selalu mewarnai hari-harimu. Tak pernah satu haripun terlewat tanpa nama nya kau sebutkan. Yaa, memang terkadang kamu menceritakan tentang istrinya, tentang rekan kerjanya atau tentang kejadian-kejadian tidak penting. Tapi bukan kejadian itu yang ingin kau ceritakan. Kau hanya ingin menceritakan dia. Mungkin jiwamu sedang bergejolak. Ada rasa berdosa menyelinap dalam relung-relung dadamu. Tapi juga ada perasaan indah tak tertahan yang menyemburkan jutaan kegairahan hidup. Lalu tiba-tiba kerinduan menyeruak dalam lautan kegalauan yang sedang kau sebrangi, membuat langkahmu berhenti. Dan berhenti. Di titik ini, kau tidak tahu lagi harus bagaimana. Kenapa cinta ini tak lagi semudah masa SMA.. (Kau tercenung sambil memandangi bayimu yang sedan...

22 Februari 2013

Saya bahkan tak sempat berpikir atau berefleksi tentang ulang tahun saya. Minggu ini pekerjaan terasa begitu menggila. Pikiran saya tersita antara word, excel, keynote, email, proposal, laporan penelitian,   TOR, undangan, hotel kaos peserta, tas peserta, modul, dan tentu saja account bank kantor. Semua menarik-narik saya minta dijadikan prioritas. Saya tenggelam. Tapi saya percaya hidup tak akan membiarkan saya terus tenggelam. Saya jalani saja sambil terus berupaya menghidupkan binar mata, menegakan tubuh yang sudah lunglai dan mengembangkan sisa senyum. Pasti akan berakhir juga. Seorang teman terbaik memberikan sepanjang malam nya menemani saya melewati detik-detik ulang tahun saya. Sekumpulan batu yang lama telah ia kumpulkan   dari berbagai pantai di Indonesia ia berikan sebagai kado. Obrolan panjang kami malam itu, membuat saya lompat dari kubangan yang menenggelamkan. Ia memang selalu hadir, di saat seperti ini. Tanpa saya minta. Pagi hari...