Skip to main content

Kerak Telor

Ada beberapa hal yang kita lakukan hanya untuk sebuah kenangan. Seperti kegiatan mengingat-ngingat lagu-lagu rock masa lalu yang saya lakukan bersama I, CM dan EN. Agak kurang jelas manfaatnya, sampai rela-rela mencari-cari di youtube sebuah lagu hits yang dibawakan grup musik wayang misalnya. Tapi kita bahagia sekali melakukannya. Bagi saya, membeli (dan tentu saja makan di tempat yang sama) kerak telor di arena PRJ adalah salah satunya.

Saya kurang suka kerak telor. Menurut saya baunya agak amis dan rasanya datar-datar saja. Walaupun begitu, setiap saya ke pekan raya jakarta saya tidak pernah satu kalipun absent untuk membeli kerak telor. Itu seperti sudah jadi bagian dari ritual pergi ke PRJ. Peribahasa katanya nih, kurang sedep rasanye ke PRJ kagak beli kerak telor. Sabtu lalu saya ke PRJ, setelah kaki hampir copot rasanya berputar-putar saya memutuskan pulang. Sebelum pulang, tentu saja saya sempatkan mampir ke abang kerak telor. Saya potong sedikit dengan sendok dan memasukan sesuap ke mulut saya. Saya terkejut, hampir gak percaya bahwa kerak telor bisa seenak itu. Saya ambil satu sendok lagi, saya biarkan lidah saya merasakannnya lebih teliti. Ternyata memang enak.

Penasaran dong, kenapa kerak telor yang ini bisa begitu menggetarkan iman. Sayacermati penampakan dari kerak telor ini, memang ada ingredient yang berbeda dari biasanya. Kalau biasanya taburannya cuma kelapa yang digoreng (atau disebut juga dengan serundeng), kerak telor ini taburannya sangat didominasi oleh bawang goreng yang gurih. Bau amisnya pun jadi tertutup oleh bawang goreng. Rasa datar si kerak telor berubah jadi menantang, karena si penjual menambahkan potongan potongan cabe rawit di dalam adonan kerak telornya. Jadi kita akan menemukan kejutan-kejutan saat menggigitnya.

Siapapun penemu inovasi kerak telor baru ini, saya sungguh-sungguh mengucapkan terimakasih kepadanya. Karena telah menjadikan kegiatan sebatas kenangan itu menjadi menyenangkan dan mengenyangkan.

Comments

Popular posts from this blog

Et cetera

Banyak hal yang harusnya bisa saya tulis dalam beberapa minggu terakhir ini. Saya berpindah ke lebih dari empat kota dalam sebulan ini, dari Lombok saya ke Bau-bau, lalu berdiam sejenal di Makasar, Jakarta, Bali lalu ke Jakarta kembali. Lelah sudah pasti, kangen suami, apalagi. Dari perjalanan ke berbagai kota itu saya bertemu banyak orang (sebagian besar adalah mereka yang tergabung dalam sebuah organisasi masyarakat sipil) dan mendaapatkan banyak sekali pengetahuan baru tentang dunia OMS ini. Bukan barang baru memang karena saya sudah terlibat di dalamnya selama kurang lebih sepuluh tahun, namun posisi saya di dalam kegiatan itu yang membuatnya berbeda. Saya harus melakukan pemeriksaan terhadap empat organisasi di sultra terkait beberapa aspek, visi dan kepemimpinan, kesolid an tim, budaya organisasi dan knowledge management. Secara umum organisasi ini punya dua problem utama yaitu soal visi dan kepemimpinan yang lemah dan kedua soal knowledge management yang kacau. Lemahnya lea

22 Februari 2013

Saya bahkan tak sempat berpikir atau berefleksi tentang ulang tahun saya. Minggu ini pekerjaan terasa begitu menggila. Pikiran saya tersita antara word, excel, keynote, email, proposal, laporan penelitian,   TOR, undangan, hotel kaos peserta, tas peserta, modul, dan tentu saja account bank kantor. Semua menarik-narik saya minta dijadikan prioritas. Saya tenggelam. Tapi saya percaya hidup tak akan membiarkan saya terus tenggelam. Saya jalani saja sambil terus berupaya menghidupkan binar mata, menegakan tubuh yang sudah lunglai dan mengembangkan sisa senyum. Pasti akan berakhir juga. Seorang teman terbaik memberikan sepanjang malam nya menemani saya melewati detik-detik ulang tahun saya. Sekumpulan batu yang lama telah ia kumpulkan   dari berbagai pantai di Indonesia ia berikan sebagai kado. Obrolan panjang kami malam itu, membuat saya lompat dari kubangan yang menenggelamkan. Ia memang selalu hadir, di saat seperti ini. Tanpa saya minta. Pagi hari, teman t

Paris I Love u

Saya penikmat film-film drama romantis, walaupun kata orang film-film macam itu “kacangan”. Ah, tapi saya tidak terlalu peduli dengan kata orang. Saya menonton dan membaca yang saya suka.   Ada satu hal yang saya nikmati dengan film-film drama romantis, mereka menampilkan tempat-tempat yang memang ingin saya datangi. Danau yang indah, city light, jalan-jalan romantis, café yang nyaman, kopi yang enak. Minggu ini saya menonton lebih dari lima film dengan setting kota Paris. Ya, saya memang selalu terobsesi dengan Paris, kota yang harus saya datangi sebelum saya mati.   Para pembuat film ini sungguh membuat saya menjadi terengah-engah untuk segera mewujudkan mimpi saya. Saya seperti ingin segera berada di sana. Mungkin sekali sebagian besar yang ditampilkan di film-film itu adalah fantasi, tapi saya tetap ingin ke sana. Saya benci dengan kenyataan bahwa film-film Indonesia tidak bisa membuat saya melihat kota-kota di Indonesia dengan cara yang sama.   Jakarta misalnya