Dari Bau-bau lagi, untuk kesekian kalinya. Bersama pak greg saya memfasilitasi Directors Meeting NGO di Muna dan Bau-bau. Pengalaman yang menarik, saya memang memuja pak greg sejak lama. Cara dia memfasilitasi, terutama dalam menghadapi audiens yang sulit sangat mencegangkan. Satu pembahasan yang memakan waktu cukup panjang adalah soal kepemilikin teman-teman terhadap rencana aksi yang mereka buat. Bukan barang baru bahwa lembaga donor ini sering punya masalah dengan mitra-mitranya. Kalau kata Mbak Yen, organisasi dengan kapasitas membangun jalan desa disuruh bangun jalan tol. Pasti aja gak bakal kesampaian.
Tapi rasanya begitulah OMS di Indonesia - terutama di daerah- semua hal mau digeluti. Kadang tak berpikir sumber daya yang dimiliki. Atau dalam bahasa pak Greg, tidak strategik. Tidak perlu kita bersusah-susah ikut dalam suatu isu kalau kita tak punya sumber daya dan yang lebih penting lagi, ada organisasi lain yang bisa mengerjakannya. Untuk itulah kita berjaringan bukan. Dia juga beberapa kali menanyakan soal berubahan yang ingin dicapai? Cocokah strategi kita dengan keinginan kita.
Ada seorang direktur yang hadir disitu yang menurut saya alur pikirnya sedikit membingungkan. Organisasinya punya tujuan untuk membuat warga agar lebih berdaya dan mampu memperjuangkan kepentingan mereka. Tapi lembaga yang dia pimpin lebih banyak genit mensikapi berbagai macam isu yang berkembang di media massa. Terombang ambing oleh isu dan lupa dengan tujuan lembaganya untuk memberdayakan warga. Apa betul hanya dengan setiap hari konfrensi pers lalu warga berdaya? Sebagai lembaga yang berbasis dan bekerja di desa, dia harusnya bisa melakukan penggorganisasian secara serius ke desa-desa tersebut.
Soal kepemilikan rencana aksi seperti yang disebut di atas, isu ini terus muncul dari beberapa kesempatan pertemuan dengan mitra-mitra lembaga donor ini. Pihak donor merasa mitra nya tidak punya rasa kepemilikan atas program kerjanya. Sebaliknya mitra merasa donor terlalu mencampuri urusan mereka. Hubungan mereka pun jadi menyakitkan. Ini sudah berlangsung lama dan harusnya bisa ditarik pembelajaran dari situ. Tapi entahlah, semua pola nya diulang lagi pada tahap ke dua program ini.
Tapi rasanya begitulah OMS di Indonesia - terutama di daerah- semua hal mau digeluti. Kadang tak berpikir sumber daya yang dimiliki. Atau dalam bahasa pak Greg, tidak strategik. Tidak perlu kita bersusah-susah ikut dalam suatu isu kalau kita tak punya sumber daya dan yang lebih penting lagi, ada organisasi lain yang bisa mengerjakannya. Untuk itulah kita berjaringan bukan. Dia juga beberapa kali menanyakan soal berubahan yang ingin dicapai? Cocokah strategi kita dengan keinginan kita.
Ada seorang direktur yang hadir disitu yang menurut saya alur pikirnya sedikit membingungkan. Organisasinya punya tujuan untuk membuat warga agar lebih berdaya dan mampu memperjuangkan kepentingan mereka. Tapi lembaga yang dia pimpin lebih banyak genit mensikapi berbagai macam isu yang berkembang di media massa. Terombang ambing oleh isu dan lupa dengan tujuan lembaganya untuk memberdayakan warga. Apa betul hanya dengan setiap hari konfrensi pers lalu warga berdaya? Sebagai lembaga yang berbasis dan bekerja di desa, dia harusnya bisa melakukan penggorganisasian secara serius ke desa-desa tersebut.
Soal kepemilikan rencana aksi seperti yang disebut di atas, isu ini terus muncul dari beberapa kesempatan pertemuan dengan mitra-mitra lembaga donor ini. Pihak donor merasa mitra nya tidak punya rasa kepemilikan atas program kerjanya. Sebaliknya mitra merasa donor terlalu mencampuri urusan mereka. Hubungan mereka pun jadi menyakitkan. Ini sudah berlangsung lama dan harusnya bisa ditarik pembelajaran dari situ. Tapi entahlah, semua pola nya diulang lagi pada tahap ke dua program ini.
Comments