Hari ini 9 Februari 2009, adalah tepat seminggu gue berada di NTB. Cukup pontang-panting karena mendadak harus pindahan rumah. Cari rumah baru, mindahin perabotan, sampe urusan kontrak sama pemilik rumah. Belum selesai waktu untuk beres-beres rumah, gue harus pergi ke Sumbawa karena ada jadual pelatihan. Diantara kesibukan itu, sempetin menyapa beberapa teman, memastikan FGD program laptah berjalan. Juga menyapa orang tua di rumah yang sangat haru biru saat gue tinggalkan kemaren, bahkan nyokap gak bisa melepaskan dekapannya saat gue sudah harus berangkat.
Seminggu di sini, gue merasakan betapa kerasnya kehidupan yang dijalani sebagian orang di tanah ini. Memberikan pelatihan dengan susah payah pada 25 orang, terdiri dari kepala desa, badan perwakilan desa dan petani madu. Membangkitkan optimisme dan berpikir kreatif adalah bagian terberat dalam pelatihan ini. Sibuk dengan persoalan hidup dan kesulitan, membuat semua jalan serasa buntu. Tak ada harapan buat meningkatnya kesejahteraan. Pelatihan dua hari ini juga menggunakan waktu di malam hari, sampe jam 11 malam. Dan gue hanya sendirian, memberikan materi mulai teori sampai teknis, sekaligus menjadi fasilitator pendamping bagi lima kelompok, plus juru ketik karena mereka tidak bisa mengetik di komputer. Kaki gue rasanya udah mau copot saat mau tidur. Honorarium yang gue terimapun untuk dua hari lebih kecil dibandingkan satu sessi yang diajukan teman-teman kantor. Tapi gue senang bukan main, rasanya terbayar kepenatan ini, bisa memberikan sesuatu buat mereka yang mungkin sangat jarang mendapatkan kesempatan seperti ini.
Selesai pelatihan gue mengunjungi beberapa kerabat Ar, baik kerabat dekat maupun yang sebetulnya tidak terlalu dekat. Kak Adek, perempuan Palembang yang merantau ke Sumbawa karena menikah dengan sepupu Ar. Perempuan dengan dua orang anak yang lucu dan pintar, Dahlia dan Awang. Ayah mereka-sepupu Ar- meninggalkan Kak Adek untuk perempuan lain. Sudah lebih dari enam bulan lamanya. Kak Adek sangat tegar, gue yang bahkan ingin menangis dengan ketegaran dia. Dahlia sudah hampir SMP, dia selalu mendapatkan rangking pertama di sekolahnya. Entah apa dia bisa bersekolah terus atau tidak, Kak Adek masih berjuang untuk sekolahnya. Gue ingin menawarkan untuk membantu mengurus Dahlia di Mataram, disamping mutu pendidikan di Mataram juga jauh lebih baik dibanding Sumbawa. Tapi gue sendiri masih belum bisa memastikan ketersediaan waktu gue untuk mengurus Dahlia seorang diri. Dan mungkin Dahlia akan lebih baik kalau tinggal bersama Ibu nya. Gue cukup membantu membiayai sekolahnya.
Lalu gue pergi ke rumah sakit umum menengok mertua dari sepupu Ar yang terkena serangan asma. Bapak itu sudah tidak bisa bernafas tanpa oksigen. Yang membuat hati gue miris adalah kamar rawat inap di rumah sakit itu. Kamar kelas III, panas dan pengap. Rasanya nafas kita pun tertahan saat baru memasuki ruang itu. Kamar itu dijejali kurang lebih 15 pasien, campur antara laki-laki dan perempuan. Lagi-lagi gue ingin menangis, apa gue menjadi begitu melankolis begitu tiba di sini? Entahlah. Tapi membandingkan kamar ini dengan kamar yang dihuni seorang teman di sebuah rumah sakit di Jakarta adalah bagai membandingkan kerak bumi dengan langit ke tujuh. Mungkin tidak terbayangkan buat orang-orang ini ada rumah sakit yang begitu nyaman, wangi, makanannya enak, kamar mandinya bagus, hei…bahkan buat penunggunya ada kamar tersendiri, begitu pula buat penjenguknya. Pelayanan kesehatan buat orang miskin memang mengerikan.
Comments