Pagi hadir kembali. Beberapa alunan lagu, secangkir kopi dan sepotong roti. Begitu selalu ritualnya menikmati pagi. Kadang ada suaranya menemani, tapi lebih sering pagi berlalu seperti ini. Lambat dan Lamat. Tak ada hiruk pikuk, tak ada lonceng yang memburu. Syahdu dan sendu. Ini pagi yang sempurna, pekiknya. Pagi memang selalu sempurna di matanya. Tapi setelah siang, semua menjadi menggila.
Saya bahkan tak sempat berpikir atau berefleksi tentang ulang tahun saya. Minggu ini pekerjaan terasa begitu menggila. Pikiran saya tersita antara word, excel, keynote, email, proposal, laporan penelitian, TOR, undangan, hotel kaos peserta, tas peserta, modul, dan tentu saja account bank kantor. Semua menarik-narik saya minta dijadikan prioritas. Saya tenggelam. Tapi saya percaya hidup tak akan membiarkan saya terus tenggelam. Saya jalani saja sambil terus berupaya menghidupkan binar mata, menegakan tubuh yang sudah lunglai dan mengembangkan sisa senyum. Pasti akan berakhir juga. Seorang teman terbaik memberikan sepanjang malam nya menemani saya melewati detik-detik ulang tahun saya. Sekumpulan batu yang lama telah ia kumpulkan dari berbagai pantai di Indonesia ia berikan sebagai kado. Obrolan panjang kami malam itu, membuat saya lompat dari kubangan yang menenggelamkan. Ia memang selalu hadir, di saat seperti ini. Tanpa saya minta. Pagi hari...
Comments