Skip to main content

Penjaga Image

Ada sesuatu yang tidak “lepas” kesan itu pasti kan tertangkap dengan beberapa jenak saja bertemu dengannya. Cara dia berpakaian, cara dia bicara, makan, berjalan, semua seperti ada penata gayanya. Tidakah dia ingin sesekali berteriak lantang atau menari lepas?? Tidakah ingin ia sesekali memeluk dan menjabat tangan seseorang dengan kasih yang tulus? Bukan karena keterpaksaan atau karena kesopanan semata?

Gue selalu bertanya dalam hati, beban apa yang ia pikul begitu berat. Tidakah beban itu bisa ia lepaskan kalau ia mau. Ia menjadi pribadi yang mati, kaku dan terkesan sombong. Entah seperti apa dia yang sebenarnya, gue gak pernah tau. Gue selalu melihat dia dari image yang ingin dia bentuk. Dan gue tidak menyukainya, entahlah orang lain.

Bukan tanpa alasan gue tidak menyukainya, ia pernah berbicara tanpa sedikitpun menatap, sibuk dengan blackbery nya. Dia tidak menjawab hampir semua email yang gue kirimkan dan beberapa email teman yang gue tahu. Dia tidak pernah mengucapkan terima kasih dan tidak pernah memberikan pujian atas prestasi yang dibuat orang lain.
Gue pernah mengagumi dia, duluuu sekali. Tapi tidak sekarang. Mungkin karena gue semakin dewasa dan kriteria kekaguman gue kepada orang lain mulai bergeser. Dulu, gue kagum dengan orang yang bertampang cakep, bermobil bagus, karier sukses. Kini, gue kagum dengan orang yang sederhana, empatik, pinter, berani, ulet dan humble.

Gue pernah mendengar bahwa dia ingin orang tidak memandang dia sebagai pribadi yang seperti itu, tapi bagaimana mungkin jika dia terus berperilaku seperti itu. Andai saja dia lebih banyak tersenyum, lebih banyak menghargai orang lain, lebih banyak berteman dengan tulus orang-orang biasa menurut pandangan dia, mungkin dia akan bisa merubah image yang tanpa sadar telah ia langgengkan.

Comments

gepede76 said…
emang si jaim, gue juga gak abis pikir...

Popular posts from this blog

Et cetera

Banyak hal yang harusnya bisa saya tulis dalam beberapa minggu terakhir ini. Saya berpindah ke lebih dari empat kota dalam sebulan ini, dari Lombok saya ke Bau-bau, lalu berdiam sejenal di Makasar, Jakarta, Bali lalu ke Jakarta kembali. Lelah sudah pasti, kangen suami, apalagi. Dari perjalanan ke berbagai kota itu saya bertemu banyak orang (sebagian besar adalah mereka yang tergabung dalam sebuah organisasi masyarakat sipil) dan mendaapatkan banyak sekali pengetahuan baru tentang dunia OMS ini. Bukan barang baru memang karena saya sudah terlibat di dalamnya selama kurang lebih sepuluh tahun, namun posisi saya di dalam kegiatan itu yang membuatnya berbeda. Saya harus melakukan pemeriksaan terhadap empat organisasi di sultra terkait beberapa aspek, visi dan kepemimpinan, kesolid an tim, budaya organisasi dan knowledge management. Secara umum organisasi ini punya dua problem utama yaitu soal visi dan kepemimpinan yang lemah dan kedua soal knowledge management yang kacau. Lemahnya lea

22 Februari 2013

Saya bahkan tak sempat berpikir atau berefleksi tentang ulang tahun saya. Minggu ini pekerjaan terasa begitu menggila. Pikiran saya tersita antara word, excel, keynote, email, proposal, laporan penelitian,   TOR, undangan, hotel kaos peserta, tas peserta, modul, dan tentu saja account bank kantor. Semua menarik-narik saya minta dijadikan prioritas. Saya tenggelam. Tapi saya percaya hidup tak akan membiarkan saya terus tenggelam. Saya jalani saja sambil terus berupaya menghidupkan binar mata, menegakan tubuh yang sudah lunglai dan mengembangkan sisa senyum. Pasti akan berakhir juga. Seorang teman terbaik memberikan sepanjang malam nya menemani saya melewati detik-detik ulang tahun saya. Sekumpulan batu yang lama telah ia kumpulkan   dari berbagai pantai di Indonesia ia berikan sebagai kado. Obrolan panjang kami malam itu, membuat saya lompat dari kubangan yang menenggelamkan. Ia memang selalu hadir, di saat seperti ini. Tanpa saya minta. Pagi hari, teman t

Paris I Love u

Saya penikmat film-film drama romantis, walaupun kata orang film-film macam itu “kacangan”. Ah, tapi saya tidak terlalu peduli dengan kata orang. Saya menonton dan membaca yang saya suka.   Ada satu hal yang saya nikmati dengan film-film drama romantis, mereka menampilkan tempat-tempat yang memang ingin saya datangi. Danau yang indah, city light, jalan-jalan romantis, café yang nyaman, kopi yang enak. Minggu ini saya menonton lebih dari lima film dengan setting kota Paris. Ya, saya memang selalu terobsesi dengan Paris, kota yang harus saya datangi sebelum saya mati.   Para pembuat film ini sungguh membuat saya menjadi terengah-engah untuk segera mewujudkan mimpi saya. Saya seperti ingin segera berada di sana. Mungkin sekali sebagian besar yang ditampilkan di film-film itu adalah fantasi, tapi saya tetap ingin ke sana. Saya benci dengan kenyataan bahwa film-film Indonesia tidak bisa membuat saya melihat kota-kota di Indonesia dengan cara yang sama.   Jakarta misalnya