Skip to main content

DiJungkirBalikan

Maret 2009, bisa jadi masa yang cukup berkesan dalam hidup gue. Di awali dengan berita indah tentang kehamilan gue, testpack yang gue lakukan iseng-iseng ternyata berujung bagus. Gue pun bertekad menjalani kehamilan yang sehat, memberhentikan dua minuman terfavorit gue sekaligus, teh botol dan kopi. Rasanya udah kayak orang sakau (ha..ha..kayak tau aja gue rasanya sakau). Maret juga, di suatu siang sehabis maksi bareng RRP dan GPD, tyata gue mengeluarkan darah merah muda, gue memutuskan pulang dan pergi ke dokter keesokan harinya. Walaupun berbagai upaya sudah gue lakukan, termasuk bedrest, disuntik penguat dan pergi ke dua dokter yang berbeda, namun dokter tetap memutuskan gue harus dikuret. Dalam beberapa hari saja, hidup gue berubah 180 derajad, dari kegembiraan yang memuncak sampai terpuruk dalam kesedihan yang paling dalam.

Apapun teori management kalbu atau rasionalisasi atas kondisi gue, gak bisa dipungkiri gue sedih. Terutama beberapa hari sebelum dikuret, saat gue dah punya feeling bahwa janin gue gak akan selamat. Pernah ada masa kami membicarakan tentang nama untuknya, pernah ada masa kami membayangkan seperti apa raut wajahnya. Seperti gue kah? Atau sepertinya ayahnya? Pernah ada masa gue membayangkan dia dalam pelukan gue dan menyusu pada gue. Kenangan itu kadang masih hadir dalam mimpi-mimpi gue, walaupun semakin lama semakin menyusut, kadang saat gue jatuh dalam lamunan, air mata gue menetes tanpa gue sadari.

Gue sudah jauh lebih baik sekarang, bahkan saat memasuki ruang bersalin untuk dikuret gue melaluinya tanpa beban. Didampingi suami, adek gue dan dua orang ponakan gue, semua proses gue jalani dengan lancar. Tak ada wajah sedih, tak ada air mata saat itu, gue ingin janin gue merasakan bahwa gue ikhlas melepas dia. Yang bikin gue rada bete, karena mungkin tampang gue yang tidak stress sama sekali, jadi aneh buat para suster yang ada di sana. Mereka menanyakan usia gue berulang-ulang. Seorang dokter jantung yang memeriksa gue sebelum masuk ruang operasi sempat berkata, 'bener nih usia nya 35 tahun, kok tampangnya masih muda banget. Kok gak sedih dsb?". Gue tidak menganggap itu sebagai pujian kala itu, gue curiga mereka menganggap gue mahasiswa yang sengaja menggugurkan kandunganya, yang datang ditemani pacarnya. Gue mikir, apakah semua orang yang dikuret harus bertampang stress sambil nangis-nangis jungkir balik seperti perempuan di sebelah gue? Gak bolehkah mereka tetap tersenyum karena menyadari ini memang sudah terjadi dan tidak ada yang bisa kita perbuat selain tersenyum dan siap menghadapi ruang operasi.

Ada banyak hal yang gue dapatkan selama gue menjalani semua proses ini. Pertama, gue merasa harus ada orang-orang kreatif yang memikirkan secara serius apa yang bisa dilakukan oleh orang yang lagi bedrest. Berminggu-minggu tiduran aja, makan di tempat tidur, gak boleh duduk, gak boleh miring kanan -kiri. Badan gue rasanya kayak dimasukin mesin laminating, kakuuuu dan pegeellll. Mau baca susah, karena tangan pegel megangin buku, mau nonton tv, gak boleh duduk lama-lama. Ah..hidup gue tersiksa. Ketergantungan kita pada orang lainpun menjadi tinggi sekali, perasaan yang sama sekali tidak gue sukai. Makan harus disuapin, mandi harus di lap, pake baju di pakein, mengerikan sekali.

Ke dua, untuk kesekian kalinya gue merasa beruntung punya suami seperti Red. Dia sabar mengurusi gue dari pagi sampe malam. Tengah malam pun, saat gue ingin minum atau ke kamar mandi, dia harus rela menggendong gue. Dia rela tidur di bawah, agar tempat tidur cukup nyaman buat gue dan gerakan dia tidak mengganggu gue. Selama bedrest, gue ngungsi di kamar upuy, karena kamar gue terletak di lantai atas. Dengan tempat tidur yang tidak terlalu besar sulit buat suami gue tidur dengan nyaman tanpa kekhawatiran akan menendang atau paling tidak tangannya mengenai perut gue.

Ketiga, ponakan gue yang dari luar kelihatan sangat bandel, adalah orang yang paling setia mengantar dan menunggui gue ke dokter. Saat dia tahu gue mengalami pendarahan, dia selalu bangun pagi dan standby di rumah gue saat gue mau ke rumah sakit. Dia juga menunggui gue saat proses kuret ataupun saat awal-awal pendarahan saat suami gue belum datang dari Mataram. Dia memang yang paling banyak punya waktu karena dia baru saja di DO dari sekolahnya di SMA Yasporbi, dan sebelumnya juga di DO di SMA Cendrawasih. Dia bukan bodoh, IQ dia mencapai 140, dan sangat mudah menerima pelajaran. Tapi dia tidak suka diatur dan tidak suka dengan cara pengajaran di sekolah. Awal semester depan dia akan ikut homeschooling kak seto, atas permintaan dia sendiri.

Keempat, tentu saja gue jadi banyak waktu untuk merenung (apalagi yang bisa gue lakukan??) dan istirahat fisik. Saat gue tau hamil, gue baru saja datang dari Makassar dan harusnya segera memulai program DPD dan juga ke Surabaya untuk training. Keguguran gue ini memberikan gue libur panjang untuk recharge fisik dan mental. Untuk mental mungkin bebannya jadi berlipat karena gue harus juga menghapus trauma keguguran gue ini, supaya siap untuk hamil lagi.

Kelima, teman adalah segalanya. Saat masa keterpurukan kalbu gue kemaren, dukungan teman adalah harta yang berharga. Irma, gepede, iva, deassy yang jauh di Swiss, rince yang di Yogya, Ijul dan temen2 peeshaka tidak berhenti mendukung gue dengan cara masing-masing. Gue bersyukur punya teman dan lingkungan kerja yang demikian. Dari semua sms2 yang masuk, sms gambreng adalah yang paling lucu dan selalu bikin gue tertawa. Thanks ya Gambreng, sumpah itu menghibur perasaan gue yang sedang campur aduk dan menambah kerinduan gue pada imut-imut..he..he...

Comments

Bivitri Susanti said…
turut prihatin er... gw baru "ngeh" waktu elo komen di note FB nya gepede soal warung imut2... gw maklum lah ya.. berita ginian kan ga mungkin juga "diemberin semena-mena", jd ga ada yg ngasitau gw ... Mudah2an semuanya akan menjadi lebih baik.

anyway, sharing loe menarik (Selain refleksi loe yg penting), terutama soal suster sotoy yg nanya umur loe itu hehehehe

much love from seattle, b
Thanks Bip
Yang lucu, satu kata yang gue ucapkan sebelum gue terkena pengaruh obat bius adalah.. "dokter bias gender neh". Anak LSM banget komentarnya..
gepede76 said…
Soal suster sotoy, gue jadi inget mau disteril tanpa persetujuan waktu melahirkan Rai..:))

Popular posts from this blog

Et cetera

Banyak hal yang harusnya bisa saya tulis dalam beberapa minggu terakhir ini. Saya berpindah ke lebih dari empat kota dalam sebulan ini, dari Lombok saya ke Bau-bau, lalu berdiam sejenal di Makasar, Jakarta, Bali lalu ke Jakarta kembali. Lelah sudah pasti, kangen suami, apalagi. Dari perjalanan ke berbagai kota itu saya bertemu banyak orang (sebagian besar adalah mereka yang tergabung dalam sebuah organisasi masyarakat sipil) dan mendaapatkan banyak sekali pengetahuan baru tentang dunia OMS ini. Bukan barang baru memang karena saya sudah terlibat di dalamnya selama kurang lebih sepuluh tahun, namun posisi saya di dalam kegiatan itu yang membuatnya berbeda. Saya harus melakukan pemeriksaan terhadap empat organisasi di sultra terkait beberapa aspek, visi dan kepemimpinan, kesolid an tim, budaya organisasi dan knowledge management. Secara umum organisasi ini punya dua problem utama yaitu soal visi dan kepemimpinan yang lemah dan kedua soal knowledge management yang kacau. Lemahnya lea

22 Februari 2013

Saya bahkan tak sempat berpikir atau berefleksi tentang ulang tahun saya. Minggu ini pekerjaan terasa begitu menggila. Pikiran saya tersita antara word, excel, keynote, email, proposal, laporan penelitian,   TOR, undangan, hotel kaos peserta, tas peserta, modul, dan tentu saja account bank kantor. Semua menarik-narik saya minta dijadikan prioritas. Saya tenggelam. Tapi saya percaya hidup tak akan membiarkan saya terus tenggelam. Saya jalani saja sambil terus berupaya menghidupkan binar mata, menegakan tubuh yang sudah lunglai dan mengembangkan sisa senyum. Pasti akan berakhir juga. Seorang teman terbaik memberikan sepanjang malam nya menemani saya melewati detik-detik ulang tahun saya. Sekumpulan batu yang lama telah ia kumpulkan   dari berbagai pantai di Indonesia ia berikan sebagai kado. Obrolan panjang kami malam itu, membuat saya lompat dari kubangan yang menenggelamkan. Ia memang selalu hadir, di saat seperti ini. Tanpa saya minta. Pagi hari, teman t

Paris I Love u

Saya penikmat film-film drama romantis, walaupun kata orang film-film macam itu “kacangan”. Ah, tapi saya tidak terlalu peduli dengan kata orang. Saya menonton dan membaca yang saya suka.   Ada satu hal yang saya nikmati dengan film-film drama romantis, mereka menampilkan tempat-tempat yang memang ingin saya datangi. Danau yang indah, city light, jalan-jalan romantis, café yang nyaman, kopi yang enak. Minggu ini saya menonton lebih dari lima film dengan setting kota Paris. Ya, saya memang selalu terobsesi dengan Paris, kota yang harus saya datangi sebelum saya mati.   Para pembuat film ini sungguh membuat saya menjadi terengah-engah untuk segera mewujudkan mimpi saya. Saya seperti ingin segera berada di sana. Mungkin sekali sebagian besar yang ditampilkan di film-film itu adalah fantasi, tapi saya tetap ingin ke sana. Saya benci dengan kenyataan bahwa film-film Indonesia tidak bisa membuat saya melihat kota-kota di Indonesia dengan cara yang sama.   Jakarta misalnya