Skip to main content

Rasa Sakit

Saat operasi usus buntu beberapa waktu lalu, dokter menemukan adanya kista kecil di dekat ovarium saya. Reaksi awal saya tentu saja menanyakan apakah kista itu berbahaya atau tidak. Dokter Febian, dokter yang menangani operasi saya menjelaskan lebih lanjut, kalau nanti saat mensturasi sakit sebaiknya saya periksa kepada dokter kandungan sambil membawa photo hasil operasi kemarin. 

Masalahnya, saat ini saya sedang bingung dengan mengukur rasa sakit. Apakah kalau saya bilang tidak sakit maka itu memang tidak sakit? Beberapa pengalaman saya berhadapan dengan rasa sakit semakin membuat saya ragu dengan justifikasi saya sendiri, Pernah saya ke dokter gigi dengan pipi yang bengkak sampai saya hampir-hampir tidak bisa buka mulut. Saya baru tersadar bahwa saya seharusnya merasakan sakit ketika salah seorang mahasiswa mengomentari. "Wah mbak, kalau saya pipi bengkak seperti itu boro-boro ketawa-tawa kayak Mbak, mau ngomong aja males". Saat itu memang datang untuk presentasi teman dari Maluku yang presentasinya lucu dan mencerahkan sekali. Pun, saat di rumah sakit, saat dokter menggetok-getok gigi saya, saya tidak merasa sakit. Aneh memang. 

Pengalaman ke dua tentu saja soal si operasi usus buntu ini, saya kira saya cuma sakit kelebihan gas di perut. Sakit yang menurut saya ya biasa-biasa saja, sehingga saya masih bisa jalan ke UGD rumah sakit Thamrin dan RS MMC. Ternyata usus buntu saya sudah cukup parah yang menurut ukuran beberapa orang harusnya saya sudah tidak bisa jalan saking sakitnya. 


Nah, sekarang, saat saya harus ke dokter atau tidak dengan ukuran rasa sakit, saya bingung harus percaya pada tubuh saya atau tidak. 

Comments

Popular posts from this blog

Et cetera

Banyak hal yang harusnya bisa saya tulis dalam beberapa minggu terakhir ini. Saya berpindah ke lebih dari empat kota dalam sebulan ini, dari Lombok saya ke Bau-bau, lalu berdiam sejenal di Makasar, Jakarta, Bali lalu ke Jakarta kembali. Lelah sudah pasti, kangen suami, apalagi. Dari perjalanan ke berbagai kota itu saya bertemu banyak orang (sebagian besar adalah mereka yang tergabung dalam sebuah organisasi masyarakat sipil) dan mendaapatkan banyak sekali pengetahuan baru tentang dunia OMS ini. Bukan barang baru memang karena saya sudah terlibat di dalamnya selama kurang lebih sepuluh tahun, namun posisi saya di dalam kegiatan itu yang membuatnya berbeda. Saya harus melakukan pemeriksaan terhadap empat organisasi di sultra terkait beberapa aspek, visi dan kepemimpinan, kesolid an tim, budaya organisasi dan knowledge management. Secara umum organisasi ini punya dua problem utama yaitu soal visi dan kepemimpinan yang lemah dan kedua soal knowledge management yang kacau. Lemahnya lea

22 Februari 2013

Saya bahkan tak sempat berpikir atau berefleksi tentang ulang tahun saya. Minggu ini pekerjaan terasa begitu menggila. Pikiran saya tersita antara word, excel, keynote, email, proposal, laporan penelitian,   TOR, undangan, hotel kaos peserta, tas peserta, modul, dan tentu saja account bank kantor. Semua menarik-narik saya minta dijadikan prioritas. Saya tenggelam. Tapi saya percaya hidup tak akan membiarkan saya terus tenggelam. Saya jalani saja sambil terus berupaya menghidupkan binar mata, menegakan tubuh yang sudah lunglai dan mengembangkan sisa senyum. Pasti akan berakhir juga. Seorang teman terbaik memberikan sepanjang malam nya menemani saya melewati detik-detik ulang tahun saya. Sekumpulan batu yang lama telah ia kumpulkan   dari berbagai pantai di Indonesia ia berikan sebagai kado. Obrolan panjang kami malam itu, membuat saya lompat dari kubangan yang menenggelamkan. Ia memang selalu hadir, di saat seperti ini. Tanpa saya minta. Pagi hari, teman t

Paris I Love u

Saya penikmat film-film drama romantis, walaupun kata orang film-film macam itu “kacangan”. Ah, tapi saya tidak terlalu peduli dengan kata orang. Saya menonton dan membaca yang saya suka.   Ada satu hal yang saya nikmati dengan film-film drama romantis, mereka menampilkan tempat-tempat yang memang ingin saya datangi. Danau yang indah, city light, jalan-jalan romantis, café yang nyaman, kopi yang enak. Minggu ini saya menonton lebih dari lima film dengan setting kota Paris. Ya, saya memang selalu terobsesi dengan Paris, kota yang harus saya datangi sebelum saya mati.   Para pembuat film ini sungguh membuat saya menjadi terengah-engah untuk segera mewujudkan mimpi saya. Saya seperti ingin segera berada di sana. Mungkin sekali sebagian besar yang ditampilkan di film-film itu adalah fantasi, tapi saya tetap ingin ke sana. Saya benci dengan kenyataan bahwa film-film Indonesia tidak bisa membuat saya melihat kota-kota di Indonesia dengan cara yang sama.   Jakarta misalnya