Skip to main content

2016

Pada akhirnya, alam berpihak kepada saya, memberikan begitu banyak kebaikan setelah rasanya duka menetap seperti selamanya.  2016 bisa disebut sebagai salah satu tahun paling membahagiakan dalam hidup. Di tengah hiruk pikuk bekerja, terselip begitu banyak cerita bahagia. Cerita dari mahasiswa yang tengah berjuang membuat jalan cerita hidup mereka.  Merasa beruntung bisa sedikit ambil bagian dari jalan cerita mereka.

 

2016 ini pun saya berkesempatan mengunjungi banyak tempat. Menapaki puncak Merbabu, Prau dan Mahameru, tempat-tempat yang dulu hanya bisa jadi impian saja. Sejak SMA saya ingin sekali ikut teman-teman mendaki berbagai gunung di Indonesia. Namun apa daya, ayah ibu saya tidak mampu membiayainya. Keinginan yang saya pendam terus sampai saya nanti tiba waktunya.

 

Berada di puncak-puncak gunung itu, perasaan saya selalu bercampur baur.  Saya tahu, usia saya tak lagi muda, perlu kerja lebih keras untuk bisa naik bareng dengan mereka yang usianya 15 sampai 20 tahun di bawah saya. Tapi, membayangkan berada di puncak-puncak gunung itu, selalu memberikan energi berlipat ganda buat saya. Hanya naik gunung yang bisa membuat saya bangun di pagi subuh untuk jogging selama berminggu-minggu. Bukan menurunkan berat badan, bukan soal tes kesehatan.

 

2016 juga tahun di mana saya mulai bisa santai dengan hidup. Tidak meledak saat sulit, tetap tenang saat bimbang. Menikmati banyak proses dengan lebih sabar. Semakin yakin bahwa hidup bukan soal lomba cepet-cepetan, tapi memaknai setiap perjalanan.

Comments

Popular posts from this blog

Malam Di Empang Tiga

Jam 18.30 malam saat irma telp gue dari ponselnya. Gue masih asik bergoogling di ruang meeting kecil, udah sepi tinggal gue dan si gundul pacul. Tenyata band cowoknya irma yang namanya mirip-mirip fenomena alam itu malam ini maen di w.al.h.i, di empang tiga. Kok di empang tiga yaa?? Perasaan gue di daerah mampang lokasi organisasi itu. Tapi mungkin aja gue salah, secara dah lama gak gaul ama orang-orang dunia per NGO an ini. Si irma mengajak gue melihat cowoknya maen, yang sebenernya temen kantor gue juga. Gue waktu itu semangat-semangat aja, ya apa salahnya siapa tau ada yang menarik. Gue janjian ama irma ketemuan deket republika, sebagai titik temu paling strategis. Gue meluncur naek busway dari halimun, masih penuh banget. Sampe sana ternyata dah mulai, acaranya digelar di halaman organisasi itu. Gue coba mengamati orang-orang yang ada, kok gak ada yang gue kenal. Yaaa at least gue khan kenal ama ED nya yang baru kepilih itu, yang dulu pernah gue temui waktu dia masih di Banjarmasin

Rasa Sakit

Saat operasi usus buntu beberapa waktu lalu, dokter menemukan adanya kista kecil di dekat ovarium saya. Reaksi awal saya tentu saja menanyakan apakah kista itu berbahaya atau tidak. Dokter Febian, dokter yang menangani operasi saya menjelaskan lebih lanjut, kalau nanti saat mensturasi sakit sebaiknya saya periksa kepada dokter kandungan sambil membawa photo hasil operasi kemarin.  Masalahnya, saat ini saya sedang bingung dengan mengukur rasa sakit. Apakah kalau saya bilang tidak sakit maka itu memang tidak sakit? Beberapa pengalaman saya berhadapan dengan rasa sakit semakin membuat saya ragu dengan justifikasi saya sendiri, Pernah saya ke dokter gigi dengan pipi yang bengkak sampai saya hampir-hampir tidak bisa buka mulut. Saya baru tersadar bahwa saya seharusnya merasakan sakit ketika salah seorang mahasiswa mengomentari. "Wah mbak, kalau saya pipi bengkak seperti itu boro-boro ketawa-tawa kayak Mbak, mau ngomong aja males". Saat itu memang datang untuk presentasi teman

Kopi and Me

Kedekatan gue dengan kopi dimulai sejak gue masih sangat kecil. Kakek gue dulu punya kebun kopi yang lumayan besar, dengan tanaman kopi yang subur dan biji-biji kopi yang ranum. Gue masih mengingatnya dengan jelas, bau harum kebun basah dan harum biji kopi yang masak. Gue juga masih ingat penggalan perasaan gue yang tak menentu saat itu, rasa senang bercampur penasaran, ngeblend dalam cita rasa kesukacitaan yang tinggi. Sampai di kebun, gue selalu tidak sabar untuk memanjat batang-batangnya dan memasukan satu persatu biji-biji yang sudah kemerahan ke dalam semacam bakul besar yang gue bawa naek ke atas. Jangan ditanya betapa banyaknya semut merah yang mengerubuti gue saat itu, tapi gak menghalangi semangat gue untuk memetik kopi. Sayang kakek gue harus menjual kebun kopinya, karena perlu biaya yang besar untuk mengobati kakinya yang lumpuh saat itu. Tapi kenangan masa kecil gue memetik kopi bersama sepupu gue terus menginspirasi gue untuk memiliki kebun kopi disaat gue dewasa. Seja