Skip to main content

2018



 Saat hendak menulis refleksi ini, saya baru tersadar payah sekali saya dalam beberapa tahun terakhir.  Harusnya blog ini diganti saja namanya menjadi Catatan Tahunan, karena sebenar-benarnya saya hanya menulis satu kali dalam setahunJ. Tapi saya orang yang sangat pemaaf terhadap kesalahan saya sendiri..hahaha. Jadi, biarkan saja lah, siapa tahu suatu saat nanti saya kembali rajin menulis, kan?

2018 tahun yang berat buat saya karena satu hal, kehilangan kakak perempuan saya satu-satunya. Dia adalah sebenar-benarnya role model saya dalam hidup. Sejak kecil saya sering mengamati tingkah lakunya, mencoba gaya dandanannya,  meneladani kekerasan hatinya. Saya mengagguminya dalam diam. Dengan segala beban yang ia pikul dipundaknya, dia menunjukan ketegarannya pada setiap orang. Dengan kanker yang terus menggerogoti tubuhnya, membesarkan dua anak yang sedang kuliah, sekaligus menjadi tulang pungguh keluarga. Bagaimana bisa saya berkeluh kesah, karena beban saya sungguh tak ada artinya.

Mbak, mungkin tak terlalu banyak ucapan cinta yang aku sampaikan padamu saat engkau masih hidup. Tapi kematian tak akan pernah memisahkan rasa sayangku padamu, Mbak. Nabila dan Reza, dua anak yang sudah saya anggap seperti anak saya,  akan menjadi penghubung cinta kita. Saya berjanji menjaga mereka, seperti menjaga anak saya.

Ini juga tahun yang berat buat saya karena pada tahun inilah proses memaafkan dan melepaskan terus menerus menantang diri saya. Memaafkan orang yang menorehkan luka dalam, memaafkan diri saya sendiri atas semua keputusan saya di masa lalu, dan melepaskan semua tanpa penyesalan lagi.  Turun naiknya perasaan atas hal ini kadang cukup serius mengganggu tidur malam saya, terutama saat PMS, saat esterogen dan progesteron sedang luar biasa aktif. Tapi semua selalu menghilang saat hari pertama saya mendapatkan haid. Saya kembali bisa mengontrol emosi saya. Semakin mendekati ujung tahun, saya mulai bisa memaafkan semuanya.


2018 saya juga berhasil mendaki Gunung Kerinci, satu dari tujuh gunung tertinggi di Indonesia. Semula saya juga hendak ke Binaiya, namun semesta belum memberi restunya. Selain Kerinci saya juga mendaki Semeru dan Prau untuk yang ke dua kalinya. Rasanya cukup berbeda dengan pendakian pertama, tapi membuat bahagia. Gunung lain yang juga saya kunjungi adalah Gunung Papandayan dan Gunung Bhutak. Ya sebetulnya akhir tahun berniat mendaki Arjuno-Welirang, namun gagal karena pendakian di tutup.

Tahun ini juga berusaha sekali supaya kampus mendapatkan jenjang akreditasi yang lebih baik. Namun ternyata harus berusaha lebih keras lagi untuk tahun 2019.  Setidaknya kita sudah lebih jelas tentang apa dan bagaimananya, ya kan. Hahaha anak optimis.

2018 terima kasih ya, kamu mengajarkan bahwa waktu memang adalah penyembuh untuk banyak  hal, sekaligus merenggut banyak hal. 2019, tolong bersabar buat saya, karena saya selaw.  Kalau saya mulai tak karuan, kau tau harus menghibur saya dengan apa, waktu.  Menari, berpuisi, ngopi dan mendaki.  Itu saja permintaanku, ya.


Comments

Popular posts from this blog

Malam Di Empang Tiga

Jam 18.30 malam saat irma telp gue dari ponselnya. Gue masih asik bergoogling di ruang meeting kecil, udah sepi tinggal gue dan si gundul pacul. Tenyata band cowoknya irma yang namanya mirip-mirip fenomena alam itu malam ini maen di w.al.h.i, di empang tiga. Kok di empang tiga yaa?? Perasaan gue di daerah mampang lokasi organisasi itu. Tapi mungkin aja gue salah, secara dah lama gak gaul ama orang-orang dunia per NGO an ini. Si irma mengajak gue melihat cowoknya maen, yang sebenernya temen kantor gue juga. Gue waktu itu semangat-semangat aja, ya apa salahnya siapa tau ada yang menarik. Gue janjian ama irma ketemuan deket republika, sebagai titik temu paling strategis. Gue meluncur naek busway dari halimun, masih penuh banget. Sampe sana ternyata dah mulai, acaranya digelar di halaman organisasi itu. Gue coba mengamati orang-orang yang ada, kok gak ada yang gue kenal. Yaaa at least gue khan kenal ama ED nya yang baru kepilih itu, yang dulu pernah gue temui waktu dia masih di Banjarmasin

Rasa Sakit

Saat operasi usus buntu beberapa waktu lalu, dokter menemukan adanya kista kecil di dekat ovarium saya. Reaksi awal saya tentu saja menanyakan apakah kista itu berbahaya atau tidak. Dokter Febian, dokter yang menangani operasi saya menjelaskan lebih lanjut, kalau nanti saat mensturasi sakit sebaiknya saya periksa kepada dokter kandungan sambil membawa photo hasil operasi kemarin.  Masalahnya, saat ini saya sedang bingung dengan mengukur rasa sakit. Apakah kalau saya bilang tidak sakit maka itu memang tidak sakit? Beberapa pengalaman saya berhadapan dengan rasa sakit semakin membuat saya ragu dengan justifikasi saya sendiri, Pernah saya ke dokter gigi dengan pipi yang bengkak sampai saya hampir-hampir tidak bisa buka mulut. Saya baru tersadar bahwa saya seharusnya merasakan sakit ketika salah seorang mahasiswa mengomentari. "Wah mbak, kalau saya pipi bengkak seperti itu boro-boro ketawa-tawa kayak Mbak, mau ngomong aja males". Saat itu memang datang untuk presentasi teman

Kopi and Me

Kedekatan gue dengan kopi dimulai sejak gue masih sangat kecil. Kakek gue dulu punya kebun kopi yang lumayan besar, dengan tanaman kopi yang subur dan biji-biji kopi yang ranum. Gue masih mengingatnya dengan jelas, bau harum kebun basah dan harum biji kopi yang masak. Gue juga masih ingat penggalan perasaan gue yang tak menentu saat itu, rasa senang bercampur penasaran, ngeblend dalam cita rasa kesukacitaan yang tinggi. Sampai di kebun, gue selalu tidak sabar untuk memanjat batang-batangnya dan memasukan satu persatu biji-biji yang sudah kemerahan ke dalam semacam bakul besar yang gue bawa naek ke atas. Jangan ditanya betapa banyaknya semut merah yang mengerubuti gue saat itu, tapi gak menghalangi semangat gue untuk memetik kopi. Sayang kakek gue harus menjual kebun kopinya, karena perlu biaya yang besar untuk mengobati kakinya yang lumpuh saat itu. Tapi kenangan masa kecil gue memetik kopi bersama sepupu gue terus menginspirasi gue untuk memiliki kebun kopi disaat gue dewasa. Seja